Kamis, 07 Februari 2013
Contoh Laporan Hasil Penelitian
Laporan Hasil Penelitian
“Ngapain ke Candi?”
Penggunaan Peninggalan-peninggalan
Purbakala di Jawa Timur
Oleh Christopher Mark Campbell
Universitas Muhammadiyah Malang
kerjasama dengan
Australian Consortium for
In-country Indonesian Studies
2002
“Apakah di desa atau di dalam hutan, di tempat yang rendah atau di
atas bukit, di mana pun Para Suci berdiam, maka tempat itu sungguh
menyenangkan.” - Dharmapada Arahanta
Vagga (Arahat) 9
“Selain Allah tidak ada Tuhan, selain aku tidak ada Kamu.”
– Pak Makutarama
Abstraksi
“Apakah
di desa atau di dalam hutan, di tempat yang rendah atau di atas bukit, dimana
pun Para Suci berdiam, maka tempat itu sungguh menyenangkan.” – Dharmapada Arahanta Vagga 9
“Selain
Allah tidak ada Tuhan, selain aku tidak
ada Kamu.”
– Pak
Makutarama
“Trowulan…adalah
tempat terjadinya kerajaan Jawa yang paling kuat, Majapahit. Didirikan pada
akhir abad ke-13, patihnya tang terkenal, Gajah Mada, menuntut kekuasan raja
atas daerah yang lebih besar daripada Indonesia modern. Demikian dia sebetulnya
ialah pemimpin pertama yang menentukan konsep Indonesia yang bersatu dengan
identitas Indonesia.” – John Miksic
Pendahuluan
Latar Belakang
Dari bangunan-bangunan zaman purba di Jatim, yang kini masih
tertinggal, hanya yang terbuat dari batu dan bata. Bangunan ini semua memiliki
hubungan erat dengan keagamaan. Sebagai pusat bagi tiga kerajaan agung pada
masa dahulu (Kediri, Singosari dan Majapahit) Jawa Timur sangat kaya dengan
peninggalan purbakala. Walaupun dalam mulut rakyat bangunan-bangunan tersebut
biasanya disebut candi, ada berbagai
macam candi yang memiliki wujud dan fungsi tersendiri:
·
Candi adalah bangunan tempat menyimpan abu jenazah seorang raja dan
orang-orang terkemuka dan memuliakan rohnya yang telah bersatu dengan Dewata
penitisnya. Selain itu candi juga merupakan tempat penghormatan dan pemujaan
Dewata atau para arwah nenek moyang.
·
Bangunan suci punden berundak telah berkembang pada zaman prasejarah dan
berorientasi kepada puncak gunung yang dianggap sebagai tempat tinggal para
arwah leluhur yang kedudukannya dianggap sama dengan Dewata.
·
Petirtaan adalah pemandian yang disucikan oleh pemeluk Budha dan Hindu.
·
Terdapat dua jenis gapura di Jatim. Jenis pertama berfungsi sebagai pintu
untuk keluar masuk dan dalam tubuhnya terdapat lubang pintu. Jenis gapura kedua
disebut candi bentar dan berupa seperti bangunan candi yang dibelah dua untuk
meluangkan jalan keluar masuk.
·
Stupa adalah bangunan yang bersifat Budha dan merupakan tempat merayakan
orang yang telah mencapai nirwana serta menghormati kehidupan Sang Budha yang
sebelumnya. Tersimpan di dalamnya adalah abu jenazah para biksu dan biksuni
yang terkemuka.
·
Bagi umat Islam yang cenderung
kepada kepercayaan asli (agami Jawa)
dan umat Hindu, baik Jawa maupun Bali, bangunan-bangunan purbakala merupakan
tempat kediaman para arwah leluhur dan roh-roh lain yang dianggap dapat
mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan di samping penderitaan dan
kesengsaraan.
·
Bagi umat Hindu candi dianggap sebagai tempat di mana para Dewata
berdiam selama suatu upacara dilakukan. Dewata itu muncul dan bersentuhan
dengan orang di dalam upacara ketika sajen diberi kepadanya.
·
Umat Budha berziarah ke
bangunan suci sebagai tanda kehormatan kepada orang-orang yang telah mencapai
nirwana dan untuk bermeditasi. Peninggalan purbakala melayani umat Budha baik
para Biksu dan Biksuni maupun kaum awam.
Tujuan Penelitian
Penelitian
ini bermaksud untuk menjelaskan cerita, persepsi dan penggunaan terhadap
peninggalan purbakala yang terdapat di Jatim. Pula menjelaskan isu-isu yang
muncul oleh karena perbedaan dan persamaan dalam penggunaan dan persepsi itu.
Metodologi
Penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan tersebut dilakukan dengan
metode wawancara, pengamatan dan dokumentasi. Wawancara itu bersifat tidak
terstruktur dengan menggunakan pedoman wawancara yang berkembang sesuai
kebutuhan di lapangan. Pengamatan yang dilakukan bersifat non-partisipatif.
Dokumentasi didapatkan dari literatur tertulis dan di internet.
Beberapa Contoh Penggunaan Peninggalan Purbakala
·
Candi Penataran (Blitar)
merupakan tempat yang keramat bagi umat Hindu dan orang Islam Jawa.
·
Candi Wringin Branjang (Blitar)
sering digunakan untuk meditasi yang berkaitan dengan agama Budha. Tidak hanya
orang yang beragama Budha yang belajar tentang meditasi di sana.
·
Setiap Hari Waisak Candi
Boyolangu (Tulungagung) dikunjungi umat Budha dan Hindu untuk merayakan
kehidupan Sang Budha bersama-sama.
·
Dekat Candi Singosari (Malang)
terdapat Petirtaan Watugede. Beberapa bintang filem dari Jakarta datang ke sana
sebelum mereka “syuting”.
·
Setiap tahun anak-anak muda
dari wilyah di sekitar Candi Jabung (Probolinggo) membuat pesta dengan api
unggun di tempat. Ini dilakukan sebagai upacara tamat sekolah.
·
Orang desa yang mengelilingi
Candi Gunung Gangsir (Pasuruan) mengadakan selamatan yang berkatian dengan Nyi
Srigati – seorang yang muncul dalam cerita rakyat setempat.
·
Air dari di Candi Belahan
(Pasuruan) dianggap minuman Dewata oleh orang setempat.
·
Situs-situs di lereng timur
Gunung Arjuna memiliki arti yang sangat penting bagi orang Jawa yang percaya
bahwa nenek-moyangnya dan Dewata berdiam di sana.
Isu yang Muncul oleh karena Pengunaan Purbakala
Ada berapa isu yang muncul oleh karena perbedaan dan
persamaan dalam penggunaan peninggalan-peninggalan purbakala. Ada yang melihat
bangunan-bangunan itu sebagai tempat suci dan ada yang melihatnya dalam arti
yang tidak spiritual.
·
Peninggalan purbakala sebagai tempat yang
menyesatkan.
·
Persepi kaum mudah.
·
Perbedaan antara umat Hindu khususnya dalam
filsafatnya.
Kesimpulan
·
Kita dapat melihat bahwa
peninggalan purbakala memeiliki arti yang sangat penting bagi beberapa golongan
dalam masyarakat Jawa dan Bali.
·
Bangunan tersebut
merupakan sumber perbedaan dan persamaan bagi orang memanfaatkannya baik dalam
arti keagamaan dan arti yang tidak spiritual.
Kata
Pengantar
Setelah saya baru pindah ke Malang dari Yogyakarta ada seorang muda
yang bertanya tentang rencana saya di Malang. Saya menjawab bahwa saya tertarik
pada candinya yang terdapat di sekitar Malang dan dia bertanya lagi: “Ngapain
ke Candi?” Sering ada orang Jawa Timur yang tidak tahu tentang warisan benda
sejarahnya sendiri. Menurut saya, hal ini sangat menarik dan saya memutuskan
untuk meneliti penggunaan dan persepsi terhadap peninggalan-peninggalan
purbakala di Jatim.
Saya ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada semua orang yang
telah memberi bantuan dalam penelitian saya semester ini akan tetapi tidak
mungkin bahwa semua orang dapat disebut satu oleh satu. Pada khususnya saya
harus mengucapkan terima kasih kepada:
·
Dr. H.A. Habib dan Dr Gerry van
Klinken – pengurus program ACICIS di Malang;
·
Dra. Hj. Su’adah – pembimbing saya
di UMM;
·
Hadih dan keluarganya di Sidoarjo;
·
Andi dan semua teman-teman saya di
Blitar;
·
pegawai perpustakaan di Vihara
Batu;
·
Dede untuk pengeditan;
·
Mas Yantoni – seorang yang lebih
ramah tidak pernah akan saya ketemui; dan
·
Zahra – untuk judulnya (maaf
tentang mobilnya); dan
·
setiap penziarah yang saya ketemui
di Jatim.
Saya mengakui bahwa ada banyak kekurangan dalam penelitian ini akan
tetapi mudah-mudahan penelitian ini dapat dimanfaatkan. Pengalaman saya di
Jatim tidak ternilai.
Christopher Campbell
Malang
2002
Sabbe Satta
Bhavatu Sukhitata
Semoga
semua mahluk berbahagia
Sadhu-sadhu-sadhu
Daftar Isi
ABSTRAKSI
………………………………………………………………………………………
|
i
|
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………. |
iii
|
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………… |
iv
|
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………………………... |
v
|
BAB I: PENDAHULUAN ………………………………………………………………………... |
1
|
Latar Belakang
……………………………………………………………………………
|
1
|
Rumusan Masalah
………………………………………………………………………...
|
3
|
Tujuan Penelitian
…………………………………………………………………………
|
4
|
Kegunaan Penelitian
……………………………………………………………………...
|
4
|
Jadwal Penelitian
………………………………………………………………………….
|
4
|
Metodologi
………………………………………………………………………………..
|
4
|
BAB II: PENGGUNAAN PENINGGALAN PURBAKALA DI JATIM ……………………... |
5
|
Kabupaten Blitar
………………………………………………………………………….
|
5
|
Kabupaten Kediri
…………………………………………………………………………
|
13
|
Kabupaten Tulungagung
………………………………………………………………….
|
15
|
Kabupaten Nganjuk
……………………………………………………………………….
|
19
|
Kabupaten Malang
………………………………………………………………………..
|
20
|
Kabupaten Probolinggo
…………………………………………………………………...
|
24
|
Kabupaten Pasuruan
………………………………………………………………………
|
25
|
Kabupaten Sidoarjo
……………………………………………………………………….
|
31
|
Kabupaten Jombang
………………………………………………………………………
|
33
|
Kabupaten Mojokerto
…………………………………………………………………….
|
34
|
BAB III: ISU-ISU YANG MUNCUL …………………………………………………………… |
42
|
Agama Islam
……………………………………………………………………………...
|
42
|
Agama Hindu
……………………………………………………………………………..
|
43
|
Agama Budha
……………………………………………………………………………..
|
44
|
BAB IV: KESIMPULAN ………………………………………………………………………… |
46
|
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………….. |
47
|
LAMPIRAN A: Situs-situs Purbakala di Jatim ………………………………………………... |
49
|
LAMPIRAN B: Candi Berantakan ……………………………………………………………….
|
50
|
LAMPIRAN C: Padahal jadi Jugaan Tokoh dan Artis untuk Mandi Suci ……………………..
|
51
|
LAMPIRAN D: Surat Undangan Hari Waisak ………………………………………………… |
52
|
LAMPIRAN E: Arus Informasi dan Globalisasi Menumbuhkan Fanatisisme
Sempit ………...
|
53
|
LAMPIRAN F: Bentuk Petinya Ikuti Postur Mudra …………………………………………….
|
54
|
LAMPIRAN G: Surat Ijin
Penelitian ……………………………………………………………
|
55
|
Bab I:
Pendahuluan
Latar Belakang
Dari bangunan-bangunan zaman purba di Jatim, yang kini masih
tertinggal, hanya yang terbuat dari batu dan bata. Bangunan ini semua memiliki
hubungan erat dengan keagamaan.[1]
Sebagai pusat bagi tiga kerajaan agung pada masa dahulu (Kediri, Singosari dan
Majapahit) Jatim sangat kaya dengan peninggalan purbakala. Peninggalan ini,
yang berupa berbagai macam bangunan, memiliki arti yang luas bagi masyarakat
pada masa tersebut. Misalnya, masyarakat Majapahit memegang berbagai aliran
agama dan kepercayaan secara bersampingan yaitu agama Siwa-Budha, kepercayaan
asli dan agama Islam.[2]
Jelas bahwa bangunan suci memiliki arti yang berbeda bagi tiga agama dan
kepercayaan tersebut.
Peninggalan purbakala biasanya disebut candi. Perkataan candi berhubungan dengan kata Candika sebagai salah satu nama Dewi Durga (Dewi Maut) dalam agama
Siwa.[3]
Candi adalah bangunan tempat menyimpan abu jenazah seorang raja dan orang-orang
terkemuka dan memuliakan rohnya yang telah bersatu dengan Dewata penitisnya.[4]
Selain itu candi juga merupakan tempat penghormatan dan pemujaan Dewata atau
dengan perkataan lain tempat memuja nenek moyang.
Ada bangunan lain di Jatim yang biasanya disebut candi pula tetapi
memiliki wujud dan fungsi tersendiri termasuk punden berundak, petirtaan, gapura dan stupa.
Bangunan suci punden berundak telah berkembang pada zaman prasejarah dan
berorientasi kepada puncak gunung yang dianggap sebagai tempat tinggal para
arwah leluhur yang kedudukannya dianggap sama dengan Dewata.[5]
Bangunannya disusun di atas teras-teras, makin ke belakang makin tinggi dan di
atas teras yang tertinggi dibangun sebuah altar yang dianggap paling suci.
Petirtaan adalah pemandian yang disucikan oleh pemeluk Budha dan Hindu.
Terdapat dua jenis gapura di Jatim. Jenis pertama berfungsi sebagai pintu untuk
keluar masuk dan dalam tubuhnya terdapat lubang pintu. Jenis gapura kedua
berupa seperti bangunan candi yang dibelah dua untuk meluangkan jalan keluar
masuk. Gapura semacam ini disebut candi
bentar. Stupa adalah bangunan bersifat Budha dan merupakan tempat merayakan
orang yang telah mencapai nirwana serta menghormati kehidupan Sang Budha yang
sebelumnya.[6]
Tersimpan di dalamnya adalah abu jenazah para Biksu yang terkemuka.
Menurut ahli anthropologi Indonesia Clifford Geertz, “It is
particularly true that in describing the religion of such a complex
civilisation as the Javanese any simple unitary view is certain to be
inadequate…”, dan terdapat banyak variasi dalam ritual, perbedaan dalam
kepercayaan, dan perselisihan nilai-nilai dalam masyarakat yang disebut sebagai
pulau yang lebih dari 90 persen Islam.[7]
Ada dua golongan Islam utama dalam masyarakat Jawa yaitu golongan santri dan
golongan yang cenderung kepada kepercayaan Jawa asli.[8]
Sampai baru-baru ini saja, tempat keramatlah dan bukan mesjid yang merupakan
pusat ritual di daerah perdesaan.[9]
Perselisihan antara orang santri dan orang yang lebih cenderung kepada
kepercayaan asli adalah tema yang berulang sepanjang sejarah Islam di Jawa.[10]
Sering di kalangan rakyat umum kepercayaan Jawa aslilah yang dominan sedang
agama Islam ortodoks merupakan suatu selubung di luar saja. Yang berperan
adalah para arwah leluhur dan roh-roh lain. Roh dan makhluk tersebut dianggap
dapat mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan di samping penderitaan dan
kesengsaraan. Dewata Hindu dan Budha juga dimasukkan ke dalam kepercayaan Jawa
asli misalnya Dewi Sri (Dewi Padi) yang dianggap dapat mempengaruhi kesuburan.
Ada dua upacara yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap makhluk halus yaitu
upacara selametan dan upacara sesajen. Sering upacara tersebut diadakan di
tempat-tempat kediaman makhluk halus termasuk peninggalan purbakala. Puncak
gunung-gunung yang tertutup hutan dianggap sebagai tempat kediaman para Dewata
dan para arwah leluhur. Bangunan purbakala yang terletak di gunung merupakan tempat
penziarahan bagi orang yang memeluk kepercayaan asli Jawa.
Ritual Hindu harus mematuhi tiga prisip yaitu tatwa (filsafat), susila
(moralitas) dan upakara (upacara).
Dalam agama Hindu upacara yadnya
(pemujaan) biasanya disebut lima jenis:[11]
·
Dewa-yadnya:
pemujaan kepada Dewata;
·
Pitra-yadnya: pemujaan kepada arwah
nenek moyang;
·
Manusa-yadnya: upacara yang mendatangkan
keselamatan kepada manusia;
·
Buta-yadnya: sajen kepada buta dan kala
(roh jahat yang suka menggangu); dan
·
Rsi-yadnya: pemujaan kepada pedanda (pendeta).
Bagi umat Hindu candi dianggap sebagai tempat di mana Dewata berdiam
selama suatu upacara dilakukan. Dewata itu muncul dan bersentuhan dengan orang
di dalam upacara ketika sajen diberi kepadaNya. Menurut kepercayaan Hindu
bangunan candi melambangkan alam semesta dengan tiga bagiannya: kakinya adalah
dunia nafsu; tubuhnya adalah dunia bentuk; dan atapnya adalah dunia tanpa
bentuk.[12]
Peninggalan purbakala di Jatim memiliki dua fungsi penting bagi umat Hindu baik
Jawa maupun Bali.[13]
Pertama sebagai tempat pemujaan kepada arwah nenek moyang dan kedua sebagai
tempat pemujaan kepada Dewata. Seperti kepercayaan asli Jawa orang Hindu juga
percaya bahwa puncak gunung adalah tempat kediaman para Dewata dan para arwah
leluhur. Di lereng gunung-gunung di Jatim terdapat bangunan suci yang merupakan
tempat penziarahan umat Hindu. Maka peninggalan purbakala memiliki arti yang
penting bagi umat Hindu dalam menjalankan kehidupan keagamaannya.
Salah satu prinsip universal agama Budha adalah: “Meditasi – karena
pikiran itu yang tertinggi, ia harus dikenal dan diasah sebelum dapat
dibebaskan, dan satu-satunya cara untuk melakukan hal ini adalah melalui
berbagai metode meditasi.”[14]
Para pengikut Sang Budha diajarkan tentang tidak adanya Dewata yang harus
mereka puja atau mohon agar ikut campur dalam kehidupan mereka. Namun,
kebiasaan memuja dan berdoa telah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam
tradisi budaya Indonesia.[15]
Umat Buddha memperbolehkan persentuhan antara Dharma (ajaran agama Budha) dengan animisme pribumi.[16]
Daripada menghancurkan suatu kebudayaan agama Budha berjalan harmonis
dengannya: “Jika itu yang Engkau percaya, dan jika itulah caramu melihat hidup
ini, ayo kita mulai dari sana!”[17]
Umat Budha berziarah ke bangunan suci sebagai tanda kehormatan. Peninggalan
purbakala melayani umat Budha baik para Biksu dan Biksuni maupun kaum awam.
Sepanjang sejarah peninggalan-peninggalan purbakala memiliki arti
yang luas dan tidak hanya dalam lingkungan keagamaan. Kapten George Baker, yang
diberi tugas meneliti peninggalan purbakala oleh Gubernor Raffles, mengatakan
(setelah pertama kali melihat Candi Sewu): “In the whole course of my life I
have never met with such stupendous and finished specimens of human labour, and
of the science and age of ages long since forgot…”.[18]
Seorang nasionalis atau sejarahwan mungkin akan menganggap bangunan-bangunan
itu sebagai bukti adanya konsep ‘negara’ Indonesia pada masa dahulu. Dalam
buku-buku sejarah Gajah Mada digambarkan sebagai seorang negarawan yang
mengibarkan panji-panji Majapahit di seluruh kepulauan Indonesia. Menurut John
Miksic, “Trowulan…adalah tempat terjadinya kerajaan Jawa yang paling kuat,
Majapahit. Didirikan pada akhir abad ke-13, patihnya tang terkenal, Gajah Mada,
menuntut kekuasan raja atas daerah yang lebih besar daripada Indonesia modern.
Demikian dia sebetulnya ialah pemimpin pertama yang menentukan konsep Indonesia
yang bersatu dengan identitas Indonesia.”[19]
Di sisi lain, peninggalan budaya ini memiliki daya tarik tersendiri sebagai
objek yang ditawarkan ke wisatawan baik orang Indonesia maupun orang asing.
Rumusan Masalah
Penelitian ini menyoroti tiga permasalahan:
·
Bagaimana penggunaan
peninggalan purbakala pada zaman sekarang?
·
Bagaimana persepsi masyarakat
terhadap peninggalan purbakala?
·
Isu-isu apa yang muncul dalam
penggunaan peninggalan purbakala?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan cerita, persepsi dan
penggunaan terhadap peninggalan purbakala yang terdapat di Jatim. Pula
menjelaskan isu-isu yang muncul oleh karena perbedaan dan persamaan dalam
penggunaan dan persepsi itu.
Kegunaan Penelitian
Penelitian tentang peninggalan purbakala di
Jatim dan kepercayaan yang berkaitan dengannya sangat luas akan tetapi hampir
semuanya menggambarkan kehidupan dan kepercayaan pada masa dahulu. Diharapkan
kegunaan penelitian ini adalah sebagai salah satu literatur tentang penggunaan
dan kepercayaan terhadap situs-situs purba pada zaman ini.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah Jatim dan pada khususnya sepuluh kabupaten
yaitu Blitar, Kediri, Tulungagung, Nganjuk, Malang, Probolinggo, Pasuruan,
Sidoarjo, Jombang dan Mojokerto.[20]
Jadwal Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan dari Februari 2002
sampai Juni 2002 atas usaha Universitas Muhammadiyah Malang.[21]
Metodologi
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif. Pendekatan tersebut dilakukan dengan metode wawancara, pengamatan
dan dokumentasi. Wawancara bersifat tidak terstruktur dengan menggunakan
pedoman wawancara yang berkembang sesuai kebutuhan di lapangan. Pengamatan yang
dilakukan bersifat non-partisipatif. Dokumentasi didapatkan dari literatur
tertulis serta internet.
BAB II:
Penggunaan Peninggalan Purbakala di Jawa Timur
Tersebar di seluruh Jatim adalah peninggalan purbakala yang tidak dapat
dihitung. Ada yang terkenal, ada yang tidak terkenal dan hampir pasti ada yang
belum ditemukan kembali. Ketika meneliti beberapa situs di sebelah utara Blitar
saya melewati Desa Balekambang. Saya diajak mengopi oleh seorang penduduk desa
setempat dan ketika saya memberitahunya bahwa saya sedang mencari situs
purbakala dia berkata bahwa ada yang dekat rumahnya. Saya diantar ke tengah
ladang di mana terdapat bangunan (disebut orang setempat Candi Balekambang)
yang belum digali and hanya atapnya yang dapat dilihat. Dua bulan kemudian
teman saya, yang mengantar waktu itu, diminta membantu temannya dari Fakultas
Arkeologi Universitas Gadjah Mada (UGM) mencari situs-situs di Blitar. Ternyata
salah satu situs yang dimaksudkan adalah Candi Balekambang yang sekarang mau
digali oleh mahasiswa UGM. Semananjung Blambangan, yang dahulu merupakan daerah
kerajaan Hindu terakhir di Jawa, adalah daerah arkeologi yang belum dijelajahi.[22]
Ada pula candi yang disebut dalam kitab-kitab Majapahit tetapi sampai sekarang
tidak dapat diketahui lokasinya. Ada pula tokoh-tokoh penting dan sampai
sekarang tempat pemuliaannya tidak diketahui misalnya Gajah Mada.
Tiga kerajaan besar yang berdiri di Jatim yakni Majapahit, Singosari
dan Kediri, meninggalkan banyak warisan benda sejarah.[23]
Ada yang masih terawat dengan baik dan ada yang kondisinya memprihatinkan.
Kabupaten Blitar
Banyak candi di Blitar yang agak runtuh tetapi hal ini tidak terlalu
mengejutkan oleh karena kebanyakan candi itu terletak di lereng Gunung Kelud
(lihat Gambar II-31). Walaupun tingginya hanya 1731m Gunung Kelud adalah salah
satu gunung api yang paling berbahaya di Jatim.[24]
Pada tahun 1919 gunung itu meyebabkan kematian ribuan orang desa sejauh tepi
sungai Brantas dan pada tahun 1951 meledak lagi menyebabkan Jawa Tengah
ditutupi abu-abu.
Candi Penataran
Candi ini terletak di lereng barat daya Gunung Kelud di Desa
Penataran, Kecamatan Nglegok, berjarak 10km di sebelah utara Blitar dan adalah
kompleks candi yang terbesar di Jatim. Candi Penataran merupakan candi yang
terpenting dalam Kerajaan Majapahit dan Gajah Mada mengunjunginya beberapa
kali.[25]
Di belakang situs ini terdapat sawah dan pohon-pohon kelapa.
Kompleks ini dapat dibagi menjadi tiga halaman gedung yang
dikelilingi oleh tembok. Sebuah patung besar menjaga halaman pertama. Dalam
halaman ini terdapat dua teras, salah satunya dihiasi dengan relief-relief dan
juga ada Candi Angka Tahun dengan arca Ganesa di dalamnya. Bangunan utama di
halaman kedua adalah Candi Naga. Bangunan yang paling besar terdapat di halaman
ketiga yaitu Candi Induk (lihat Gambar II-1). Kakinya bersusun tiga tingkat
akan tetapi atapnya telah runtuh dan hilang. Teras-teras di bawah menggambarkan
cerita Ramayana.[26]
Apabila melewati tembok timur, di pojok tenggara, terdapat pemandian yang dihiasi
dengan relief-relief.
Menurut juru kuncinya Candi Penataran merupakan candi yang paling
sering dikunjungi di Jatim akan tetapi hal ini mengakibatkan dampak baik
positif maupun negatif. Dana untuk pemeliharaan yang ada di sana jauh lebih
banyak kalau dibandingkan dengan candi lain di Jatim akan tetapi suasana di
candi ini dipengaruhi oleh karena adanya warung-warung dan penjual di
sekitarnya.
Bagi umat Hindu Candi Penataran memiliki arti yang penting. Mereka
menganggapnya sebagai bagunan pemujaan leluhur dan tempat melakukan upacara
bersama, antara keluarga dan kerabat Sang Raja dengan rakyat. Yang disembah di
Candi Penataran ialah roh suci leluhur yang telah disucikan. Tempat pemandian
digunakan oleh umat Hindu untuk mengambil air yang digunakan dalam upacaranya.
Di Blitar ada seorang paranormal yang menceritakan makhluk tuyul
yang berwujud seorang bayi. Makhluk itu mendiami tempat-tempat yang angker
seperti Candi Penataran. Apabila seorang ingin memiliki pesugihan tuyul, mereka
dapat mengunjungi Candi Penataran. Sebelum menaklukkan tuyul itu, seorang harus
menjalankan laku tapa ngluweng
(mengubur diri). Setelah itu tercapai, maka penguasa gaib di wilayah Candi
Penataran akan mengadakan perjanjian saling menguntungkan. Mahluk tuyul
tersebut tidak langsung dapat disuruh mencuri, tetapi harus dilatih terlebih
dahulu oleh majikannya. Setelah mengerti apa yang harus dilakukan, mereka akan
melaksanakan perintah pemiliknya tersebut setelah lepas sembahyang isya.
Candi Sumberjati
Candi Sumberjati (disebut Candi Simping orang setempat) berjarak di
sebelah barat daya Blitar di Desa Sumberrejo, Kecamatan Suruhwadang (lihat
Gambar II-2). Raja Kertarajasa dicandikan dalam arca Siwa yang terdapat di
Candi Sumberjati.[27]
Walaupun candi ini telah runtuh sekarang, Sumberjati menunjukkan contoh relief
yang sangat baik. Bangunan utama dikira mirip dengan macam candi Kidal (Malang)
dan Sawentar (Blitar).[28]
Sekarang yang tinggal hanya batu-batu dan arca-arca. Lokasi ini dikelilingi
sawah dan hutan serta ada pemandangan bukit di belakang.
Menurut orang setempat situs ini tidak lagi digunakan oleh orang
setempat dalam arti keagamaan. Akan tetapi orang Hindu mengadakan upacara di
sana. Katanya umat Hindu biasanya datang dalam rombongan, pada hari yang tidak
tertentu, dan bersembahyang dibawah “imam”nya. Mereka tinggal sebentar saja
sebelum pergi lagi.
Candi Boro
Sebetulnya situs ini yang terletak di Desa Tulis Kriyo, Kecamatan
Sanan Kulon, tidak merupakan candi melainkan arca Ganesa (lihat Gambar II-3).
Berjarak dekat dengan Candi Sumberjati di sebelah barat daya Blitar. Arca-arca
Ganesa seperti itu sering ditempatkan dekat penyeberangan sungai - mungkin
disebabkan oleh sifat Ganesa sebagai Dewa yang memberbolehkan penggemarnya
mengatasi semua rintangan.
Tingginya candi ini tiga meter. Di belakang kepalanya terdapat muka
kala besar. Dewa gadjah ini memegang sapu kecil dan kapak kayu. Hiasan yang
melintang pada kaki arca ini adalah gading-gading dan tengorak-tengkorak. Arca
ini ditutupi dengan atap dan dikelilingi oleh rumah-rumah. Di belakangnya
terdapat pohon-pohon tinggi.
Juru kunci candi ini ialah Ibu Sanangulon dan dia sangat senang
bercerita tentang pengalamannya dan sejarah arca itu. Dia telah tinggal di
sebelah arca selama 60 tahun dan dilahirkan tidak jauh dari lokasinya. Pada
tahun 1940 dia merantau ke Surabaya untuk berkerja sebagai pembantu. Dua tahun
kemudian dia pulang dan membeli rumah dengan pintu belakang yang keluar
kira-kira lima meter dari arca itu.
Katanya, pada tahun 1940 arca ini ditutupi pasir oleh pejabat
Belanda oleh karena mereka takut arca itu akan kena bom dari serangan Jepang.
Ketika orang Jepang menjajah Indonesia dan masuk wilayah Blitar arca dibongkar
lagi. Kata beliau orang Jepang menggunakan arca itu untuk bersembahyang sesuai
dengan kepercayaannya.
Setelah kemerdekaan Ibu menikah dengan seorang tentarawan. Tidak
lama setelah peristiwa ’65 (dan ketegangan antara agama mulai muncul) ada orang
yang datang ke arca itu malam-malam sekali. Suami Ibu (yang telah wafat
sekarang) memberitahunya bahwa dia yakin orang itu adalah prajurit. Akan tetapi
Ibu sendiri menyebutkannya sebagai oknum. Mereka datang dengan membawa beliung
dan menetaki muka arca. Ketika ditanya tentang alasan serangan itu Ibu
mengatakan bahwa mungkin tempat ini dianggap tempat yang menyesatkan oleh
orang-orang yang beragama Islam ortodoks. Menurut Ibu, akhirnya orang-orang itu
yang merusakkan arca itu mendapatkan hukuman sendiri karena ada jatuh sakit dan
ada yang mati.
Di depan arca itu ada dupa dan daun bunga dan Ibu mengatakan bahwa
setiap hari ada orang yang bersembahyang di tempat (agamanya Hindu dan Islam).
Katanya orang Islam pun masih percaya pada adanya Dewa di sana. Dia juga
mengatakan bahwa ada orang asing yang datang untuk bersembahyang khususnya dari
Jepang – tetapi dia tidak yakin kalau ini berkaitan dengan masa penjajahan
Jepang.
Candi Kalicilik
Situs ini terletak di belakang halaman di tengah rumah-rumah di Desa
Candirejo, Kecamatan Ponggok (lihat II-6). Agak sulit untuk mencapai ke candi
ini oleh karena kekurangan tanda penunjuk jalan. Suasana di situs ini sepi dan
di belakangnya terdapat pohon-pohon dan rupanya halamannya dirawati.
Ketika mengunjungi lokasinya juru kunci tidak ada di rumah sehingga
saya harus melompat pagar setelah minta ijin dari orang setempat. Katanya candi
ini kadang-kadang digunakan orang setempat untuk mengadakan selamatan. Ada pula
orang Hindu yang mengadakan upacara sembahyang di sana.
Candi Sumbernanas
Candi ini terletak di Desa Rejoso, Kecamatan Ponggok (lihat Gambar
II-7). Situs ini dikelilingi ladang dan hutan. Sekarang ini hanya puing yang
tertinggal. Atap dan tubuh telah hilang dan hanya kaki yang dapat dilihat.
Menurut orang setempat keadaan candi yang kurang baik disebabkan oleh Gunung
Kelud yang mengakibatkan kerusakan di wilayah itu kalau meledak.
Orang setempat berkata bahwa mereka kadang-kadang mengadakan
selamatan di halaman candi. Ketika saya mengunjungi situsnya masih ada dupa dan
sebotol minyak wangi di depan candinya. Selamatan yang diadakan di sana memuja
Allah dan sebuah danyang yang
mendiami desa yang terletak dekat. Mereka menggunakan campuran bahasa Jawa dan
Arab dalam upacaranya. Menurut orangnya jarang ada orang Hindu yang
bersembahyang di sana dan sebenarnya jarang sekali ada wisatawan oleh karena
keadaan bangunan yang tidak terlalu menyenangkan kalau dibandingkan dengan
candi lain di Blitar.
Candi Gambar Wetan
Candi ini terletak di sebelah palung sungai lahar Gunung Kelud
berjarak dua kilometer di sebelah utara Desa Candisewu, Kecamatan Nglegok
(lihat Gambar II-8). Candi ini dapat dikaitkan dengan dua prasasti yang
berangka tahun 1410 dan 1438.[29]
Perjalanan mencapai ke candi ini melewati bekas perkebunan kopi. Apabila tidak
diantar oleh seorang setempat mungkin agak kesulitan. Pemandangan Gunung Kelud
sangat mengesankan. Candi ini ditutupi pohon-pohon dan memiliki suasana yang
tenang dan sepi. Terdapat pos penjaga akan tetapi juru kunci jarang sekali
berada di sana oleh karena jauh dari desanya dan jarang sekali ada pengunjung.
Seorang muda dari desa Candisewu membertitahu tentang alasan-alasan
candi mengalami kerusakan dan memang ceritanya menarik dan menunjukkan berapa
pengaruh dan tegangan yang dialami orang setempat. Menurutnya, ada tiga alasan
mengapa candi ini dalam keadaan yang kurang baik. Pertama, candi ini dekat
dengan Gunung Kelud yang sering meledak. Sangat jelas bahwa wilayah ini
dipengaruhi oleh Gunung Kelud oleh karena tidak jauh dari tempatnya ada sungai
lahar yang sangat besar.
Kedua, hubungan antara kepercayaan dahulu dan kepercayaan sekarang
masih ketat sekali di daerah ini. Orang itu sendiri mengatakan bahwa dia sama
sekali tidak percaya pada apa yang dipercayai orang “tua” itu. Katanya, orang
muda tidak lagi mau percaya pada kepercayaan itu. Dia pernah belajar di sekolah
agama dekat Jombang yang mungkin mempengaruhi pandangannya. Dari konversasi
jelas bahwa dia sendiri adalah seorang Islam yang ortodoks. Rupanya bahwa dia
menghormati orang tua setempat dan dia tidak menentang jalan mereka. Katanya,
orang itu mengadakan selamatan di candi setiap minggi pada malam Jumat dan
memuja roh-roh yang dipercaya berdiam di sana. Selamatan juga diadakan kalau
ada kejadian seperti sunatan atau perkawinan supaya tidak ada hambatan. Bahasa
yang digunakan adalah bahasa Jawa dan Islam. Orangnya percaya bahwa roh-roh yang
berdiam di sana berkaitan dengan aktivitas Gunung Kelud. Ada pula orang yang
bertapa dan bersemadi. Pernah ada orang yang menganggap kepercayaan itu sebagai
sesuatu yang melawan Allah sampai mereka datang dan mengambil patung serta
merusakkan bangunannya. Akan tetapi kepercayaan orangnya kuat dan tidak hanya
tergantung pada bangunan fisik.
Ketiga, tanah di sekitar candi merupakan bekas perkebunan kopi. Di
daerah ini (dan beberapa daerah lain di Jatim) telah muncul perselisihan tanah.
Ternyata bahwa orang perkebunan yang disalahkan atas kehilangan patung dari
candinya. Orang pun yang tidak memiliki hubungan dengan candi (dalam arti
keagamaan), sangat tersinggung oleh karena pencurian itu. Walaupun tidak pernah
dibuktikan bahwa itu orang perkebunan yang bersalah “kebenaran” itu tidak
begitu penting. Yang penting adalah apa yang disangka orang. Ada kemungkinan
bahwa sangkaan itu memiliki peran dalam peselisihan tanah yang terjadi di
sekitar Desa Candisewu.
Candi Bacem
Candi Bacem terletak di belakang SD di Desa Bacem, Kecamatan
Sutojayan (lihat Gambar II-9). Situs ini ditutupi pohon dan dikelilingi rumah.
Tidak jauh dari situsnya ada bukit yang memisahkan wilayah Blitar dari wilayah
pantai selatan. Di situs ini terdapat dua bangunan utama. Sekarang keadaannya
kurang baik dan keduanya agak runtuh. Di atas bangunan pertama terdapat tiga
altar. Suasana di Desa Bacem sangat sepi sehingga suasana di candi ini tenang.
Bangunannya dibuat dari batu-bata dan agak kecil.
Setiap malam Jumat orang setempat mengadakan selamatan di sana. Kata
orang yang tinggal di sebelah candi ada danyang
yang mendiami candi dan selamatan itu juga berkaitan dengan arwah
nenek-moyangnya. Bahasa yang digunakan adalah campur bahasa Jawa dan Arab.
Candi Sawentar
Terletak di Desa Sawentar, Kecamatan Kanigoro, di sebelah timur
Blitar (lihat Gambar II-4). Candi Sawentar (disebit orang setempat Candi
Cungkup) agak mirip dengan Candi Kidal (Malang) dan dibuat pada abad ke-13.[30]
Situs ini dikelilingi rumah dan pohon dan halamannya dirawati. Kakinya
dikelilingi parit dan terletak beberapa meter bi bawah tanah, disebabkan oleh
karena lokasi ini pernah di terpendam akibat lahar dari ledakan Gunung Kelud.[31]
Juru kuncinya senang sekali membicarakan sejarah candi ini dan candi
di sekitarnya. Candi ini sering dikunjungi umat Hindu. Biasanya orang itu
datang dalam rombongan dan tinggal beberapa jam untuk mengadakan upacara.
Orangnya duduk di depan pintu masuk dan bersembahyang.
Candi Kotes
Candi Kotes terletak di tengah Desa Kotas, Kecamatan Gandusari (lihat
Gambar II-10). Di sebelahnya ada rumah-rumah dan di belakangnya terdapat hutan.
Suasana di candi ini sepi dan ketika saya mengunjunginya juru kuncinya tidak
ada akan tetapi orang setempat memperbolehkan saya masuk melewati lubang di
pagar. Kaki Candi Kotes menunjukkan bahwa pada masa dahulu candi ini agak besar
tetapi sekarang atapnya hilang dan hanya tinggal beberapa batu dari bagian
atas. Ada beberapa patung dan batu-batu yang bercorak.
Menurut orang setempat candi ini jarang dikunjungi turis-turis dan
sekarang tidak lagi digunakan dalam arti keagamaan. Menurut orang itu banyak
patung pernah dicuri pada tahun 1960-an sebelum mulai masa penjagaan. Ketika
menanyakan orang yang bertanggung jawab mereka berkata bahwa mereka tidak tahu
dengan pasti.
Candi Wringin Branjang
Terletak di luar Desa Sumberagung, Kecamatan
Gandusari (lihat Gambar II-11). Dalam perjalanan ke situs ini harus melewati
ladang dengan menuju ke Gunung Gedang. Candi ini terdapat di dalam hutan
cemara. Pemandangannya indah sekali dari situs ini dengan melihat tanah darat
Blitar dan gunung-gunung di sekitarnya dan udaranya sejuk oleh karena ditutupi
pohon. Situs ini sangat mengesankan.
Ada bangungan dekat candinya yang baru saja diketemukan kembali.
Bangunan pertama terletak paling bawah dan dibuat dari batu besar. Tidak ada
hiasan apapun dan menurut orang setempat ini merupakan tempat pertapaan pada
zaman dahulu. Di dalam ruang ini ada dupa dan ruangnya masih digunakan untuk
penyemadian. Terletak kira-kira 50m di belakang bangunan pertama ada ladang dan
tiga bangunan lagi. Bangunan itu belum diberi nama. Di atas salah satunya
dibangun ruang supaya pengunjung dapat bersemadi. Di dalam ruang ini terdapat
tikar, lilin, dupa dan payung. Di sebelah situs ini ada bangunan kayu yang
digunakan orang yang berziarah untuk masak dan tidur. Ada empat orang yang
tetap tinggal di sana untuk menjaga situsnya.
Penggunaan bangunan ini menarik sekali dan sering digunakan untuk
meditasi yang berkaitan dengan agama Budha. Ketika saya mengunjunginya ada rombongan
berempat dari Yogyakarta. Mobilnya mewah sekali dan mereka datang dari Yogya
khususnya untuk bersemadi di situs ini. Ketika saya sampai ke situs itu pada
jam 10 pagi mereka baru saja keluar dari ruang meditasi (mulainya jam 10
malam).
Orang Yogyakarta mengatakan bahwa banyak teman-temannya telah pernah
berlatih di tempat itu. Ketika ditanya tentang kepercayaannya dia menjawab
agama Islam. Ternyata di Jatim ada banyak orang yang beragama Islam tetapi
masih tetap belajar meditasi melalui agama Budha. Mereka juga datang untuk
membicarakan “soal-soal” hidup dalam suasana yang sepi dan tenang. Ketika
bertanya tentang cara meditasi dia mengatakan bahwa itu campuran Budha dan
Jawa.
Rombongan itu dari Yogyakarta berkelas tinggi dan salah satunya
bercerita tentang rencananya pergi ke Australia untuk membangun bisnis di sana.
Menurutnya mereka berziarah untuk mendapat kelonggaran dari kota yang “full of
stress”. Orang setempat berkata bahwa ada Biksu yang mengunjungi candi ini
untuk mengajarkan Dharma dan meningkatan
kesadaran tentang agama Budha. Di bawah satu situs disediakan tempat supaya
orang-orang dapat duduk sambil diajarkan meditasi.
Candi Plumbangan
Terletak dekat Wlingi di tengah Desa Plumbangan, Kecamatan Doko
(lihat Gambar II-5). Sebetulnya situs ini bukan candi melainkan gapura. Menurut
juru kuncinya pernah ada wihara di tempat ini pada zaman dahulu. Situs ini
dikelilingi rumah-rumah dan terletak tidak jauh dari jalan raya Malang-Blitar.
Menurut juru kuncinya situs ini tidak lagi digunakan dalam arti keagamaan. Dia
sangat senang ada pengunjung asing oleh karena jarang sekali ada pengunjung
baik orang Indonesia maupun orang asing.
Candi Tepas
Tertelak di tengah pohon-pohon tidak jauh dari Kasembon di Desa
Tepas, Kecamatan Kasembon (lihat Gambar II-12). Perjalanan mencapai ke situs
ini sangat menyenangkan melewati sawah bertingkat-tingkat dan ada pemandangan
bukit-bukit dan gunung-gunung ke arah utara. Suasana di candi ini tenang sekali
oleh karena lokasinya di tengah hutan jauh dari jalan raya. Candi ini agak
besar dan dibuat dengan batu besar yang kebanyakan halus pada khususnya di
bagian atas. Keadaan candi ini masih baik akan tetapi telah mengalami kerusakan
waktu. Tidak ada hiasan apapun.
Menurut orang setempat masih diadakan selamatan di mana orang memuja
nenek moyangnya dan Allah. Selamatan itu menggunakan bahasa Jawa dan Arab akan
tetapi hanya diadakan kalau ada keinginan yang spesifik misalnya pembangunan
rumah baru atau pernikahan. Katanya tidak semua orang di desa mengikuti
selamatan tersebut.
Kabupaten Kediri
Orang yang berbahasa Inggris dan mengunjungi Pare dengan niat
melihat candi di sekitarnya tidak perlu kuatir. Sebabnya sekarang Pare telah
berkembang sebagai pusat kursus bahasa Inggris. Apabila seorang asing berjalan
di sana mereka akan diajak masuk rumah-rumah dan berbicara bahasa Inggris.
Apabila mau mengunjungi candi-candi sorang asing hanya harus berkata begitu dan
pasti ada seseorang yang akan mengantar dengan biaya latihan berbicara bahasa
Inggris.
Tidak jauh dari kota Kediri ada gua meditasi Budha yang terlatak di
bukit Klotok ke arah barat dari Kediri. Goa Selomangleng adalah goa alam yang
terpahat di dinding berupa relief. Ada pengunjung yang secara periodik
mengunjungi lokasi tersebut serangkaian dengan kegiatan berziarah.
Candi Surowono
Terletak di Desa Canggu, Kecamatan Pare, dua kilometer dari jalan
raya ke Kediri (lihat Gambar II-13) dan dibangun pada abad ke-14.[32]
Candi ini dikililingi rumah dan ditutupi pohon. Di sebelah candi ada beberapa
arca dan antaranya ada yang sangat indah.
Sekarang hanya kakinya yang tertinggal. Keadaan candi ini masih baik
akan tetapi di depan candi ada jajaran konkret dan di atas jajaran ini
ditempatkan batu-batu yang diketemukan di sekitar candinya. Batu-batu ini
berjumlah ratusan yang menunjukkan bahwa dahulu candi ini jauh lebih besar.
Juru kuncinya senang bercerita tentang sejarah candi ini. Katanya
setiap bulan Sura (tanggalan Jawa)
ada orang Hindu yang datang untuk mengadakan upacara. Jumlah orang yang
biasanya datang adalah empat sampai enam orang. Menurut juru kunci juga ada
orang Budha yang mengunjungi candi ini. Katanya selama dasawarsa 1960-an ada
banyak patung dan batu yang hilang. Baru tahun 1970 mulai ketat penjagaannya
dan sejak itu tidak pernah ada yang hilang.
Candi Tegowangi
Candi Tegowangi terletak di desa Tegowangi Kecamatan Plemahan,
Kabupaten Kediri (lihat Gambar II-14). Candi ini terletak dalam taman rekreasi
dan halamannya luas sekali. Di dalamnya ada pertenakan tawon sehingga ketika
menaiki candinya terlihat banyak tawon. Ada dua bangunan utama. Yang tinggal
sekarang adalah kaki saja. Relief yang terpahat di candi ini masih dalam
keadaan baik dan mengambarkan legenda Sudamala.[33]
Ibu juru kunci tahu banyak tentang sejarah candi dan dia sangat
senang memperlihatkan buku tentang Candi Tegowangi. Menurutnya setiap tahun ada
orang Hindu yang dari sejauh Jakarta dan Bali datang untuk bersembahyang.
Biasanya mereka datang dalam rombongan yang sebesar 20 orang. Menarik juga
bahwa orang yang berziarah ke sana biasanya memakai pakaian biasa dan hanya
pemimpin yang memakai pakain adat. Mereka duduk di atas candi dan
bersembahyang.
Ada pula para Biksu yang datang ke sana, biasanya dari Kediri. Akan
tetapi menurut juru kuncinya mereka tidak datang pada hari tertentu.
Kadang-kadang mereka duduk saja selama beberapa jam di atas atau di sebelah
candi atau kadang-kadang mereka bersemadi sambil berjalan mengelilingi bangunan
utama.
Kabupaten Tulungagung
Berjarak ke arah selatan kota Tulungagung terdapat Bukit Wajak Kidul
(lihat Gambar II-15). Di sana terdapat tempat kepariwisataan Gua Selomangleng
dan Gua Pasir. Suasana di Gua Pasir sangat sepi dan lokasi ini digunakan oleh
orang yang berpacaran. Pemandangan dari dua gua ini luar biasa. Menurut juru
kunci hal ini sengaja. Tempat pertapaan dibangun di tempat yang memiliki
pemandangan indah supaya orang yang bertapa harus mengatasi keinginan untuk
melihatnya.
Boyolangu
Candi Boyolangu (disebut Candi Gayatri orang setempat) terletak di
Desa Boyolangu, Kecamatan Boyolangu (lihat Gambar II-16). Suasana di candi ini
sangat sepi waluapun terletak di tengah desa. Halamannya ditutupi pohon-pohon.
Ada tiga bangunan dan sebuah patung yang mungkin berupa bodhisavatta terletak di atas bangunan utama.[34]
Keadaan candi ini besar tetapi agak runtuh. Terdapat arca-arca Siwa di atas
bangunan kecil dan di halaman.
Bapak juru kunci mengatakan bahwa sering ada orang yang mengunjungi
situs ini dalam arti keagamaan. Setiap Hari Waisak ada orang dari Kediri yang
berkunjung untuk merayakan kehidupan Sang Budha dan bersemadi. Mereka semua
duduk di sekitar candinya dan bersemadi dan ada yang menunjukkan tari-tarian.
Yang menarik, ada umat Hindu yang merayakan Hari Waisak bersama dengan orang
Budha. Mereka membawa sajen yang berupa buah-buahan. Kebanyakan orang yang
datang adalah orang pribumi tetapi juga ada orang Tionghoa. Para Biksu juga
sering datang ke candi ini biasanya pada jam 6 pagi sampai jam 12 siang. Mereka
duduk di depan tempok barat dan menghadapi arca Budha. Kata juru kunci mereka
duduk diam saja.
Candi Dadi
Terletak di atas bukit dekat Desa Wajak Kidul, Kecamatan Boyolangu
pada ketinggian 900m di atas permukaan laut (lihat Gambar II-17). Tahun
pembangunan candi ini sampai sekarang tidak diketahui. Keindahan alam yang
berada di puncak bukit kapur dapat dinikmati dari Candi Dadi dengan memandang
pergunungan Wilis, kota Tulungagung dan tanah darat di sekitarnya. Untuk
mencapai ke candi ini harus berjalan kaki selama setengah jam tetapi perjalanan
ini sangat menyenangkan lewat perkebunan dan hutan alam. Candi ini dikelilingi
perkebunan kacang tanah. Suasana di candi ini sangat alam oleh karena jauhnya
dari rumah dan ada pemandangan unik. Sebetulnya, situs ini bukan candi
melainkan stupa (salah satu dari dua stupa di Jatim). Keadaan candi ini baik sekali.
Ada cerita bahwa pohon “bonzai” pernah ditanam orang Jepang di
bukit-bukit ini dan pohon itu masih dicari oleh orang setempat. Candi ini juga
digunakan orang Jepang untuk bersembahyang. Ada rombongan pecinta alam dari
Tulungagung yang sering mengunjuni Candi Dadi. Para Biksu juga mengunjungi
candi ini untuk meditasi. Agak menarik bahwa seorang setempat mengatakan bahwa
bangunan itu merupakan peninggalan Belanda. Selamatan juga kadang-kadang
diadakan di Candi Dadi tetapi hanya kalau ada hajat yang spesifik.
Candi Penampian
Candi yang unik ini terletak di lerengan Gunung Wilis di tengah
kebun teh di Desa Geger, Kecamatan Sendang (lihat Gambar II-18). Candi ini
susah sekali dicapai oleh karena jalannya tidak diaspal dan sangat curam.
Suasana sangat sepi dan ketika dan jarang ada orang melewati lokasinya.
Udaranya sangat sejuk dan candinya ditutupi kabut. Menurut orang setempat kalau
tidak kabut candi ini memiliki pemandangan gunung Wilis dan tanah datar di
bawahnya yang spektakular. Di sebelah candi terdapat sungai kecil yang
digunakan sebagai sumber air minum di desa Penampian.
Ada selamatan yang diadakan di sana untuk menyelamatkan desa di
bawah dan supaya panennya baik. Menurut orang setempat selamatan ini mengingat
nenek-moyangnya yang pernah tinggal di daerah itu. Selamatan itu menggunakan
campuran bahasa Jawa dan Arab dan biasanya diadakan pada setiap malam Jumat.
Jarang sekali ada wisatawan datang ke sana baik orang Indonsia maupun orang
asing.
Candi Sanggrahan
Terletak di Desa Sanggrahan, Kecamatan
Boyolangu candi ini disebut Candi Cungkup orang setempat (lihat Gambar II-19).
Candi ini dikelilingi rumah dan hutan yang mengakibatkan suasana sepi dan tidak
jauh darinya terlihat Bukit Wajak Kidul. Kaki candi ini luas sekali, tingginya
dua meter dan di atas ada ruang yang ukurannya sama dengan seperempat lapangan
sepak bola. Ada batu di sebelah tangga yang dahulu merupakan gapura. Bangunan
utama agak runtuh tetapi masih mengesankan. Candi ini memiliki papan-papan
tetapi tidak ada gambaran sama sekali.
Menurut juru kunci, yang tinggal di
sebelah candi, dahulu sering ada orang yang datang untuk bersembahyang tetapi
sekarang jarang sekali. Orang dari desa di sekitarnya kadang-kadang mengadakan
selamatan di candi tetapi hanya kalau ada hajat. Mereka duduk di depan bangunan
utama dan menggunakan campuran bahasa Arab dam Jawa.
Candi Mirigambar
Terletak di Desa Mirigambar, Kecamatan Sumbergempol (lihat Gambar
II-20). Waulaupun agak sulit dicapai candi ini agak besar. Terletak di sebelah
lapangan sepak bola dengan suasana yang tenang dan sepi. Keadaan bangunan ini
agak runtuh dan dindingnya kemiringan. Masih ada relief-relief yang berkualitas
tinggi.
Ketika saya sampai di sana ada Ibu yang sedang memanfaatkan lokasi
candi untuk mencari rumput untuk makanan ternaknya. Kita dapat melihat bahwa
aktivitas ini telah dilaporkan dalam Kompas.[35] Menurutnya setiap malam Jumat dan Senin
ada selamatan yang diadakan di lokasi ini. Kadang-kadang ada orang yang
melek-melekan selama satu hari dan satu malam. Dalam meditasi itu setiap orang
memiliki keinginan dan kepentingan yang berbeda. Menurut orang setempat candi
ini berkatian dengan Angling Darma, seorang yang muncul dalam cerita rakyat
setempat.
Candi Ngampel
Terletak di Desa Joho, Kecamatan Kalidawir (lihat Gambar II-21).
Candi ini dikelilingi hutan dan suasananya sangat sepi. Dekat lokasi seorang
dapat melihat bukit-bukit. Menurut orang setempat ini candi yang paling selatan
di daerah ini sehingga memiliki arti tersendiri. Ada pohon yang menumbuh di
atas candi. Bangungan utama yang dibuat dari batu-bata sekarang runtuh. Ada dua
patung kecil dan altar di depan bangunan itu. Patung-patung ditutupi bangunan
kayu dan bambu dan di depan patungnya terdapat lemping.
Ada selamatan setiap malam Jumat. Menurut orang setempat candi ini
berkaitan dengan Joko Sindono (Banjisa Putra) seorang yang muncul dalam cerita
rakyat setempat. Dalam selamatan mereka minta ijin kepada Joko Sindono supaya
dia merelainya. Apabila ada hajat, orang dari desa di sekitarnya akan ke sana
misalnya penikahan atau kalau ingin membangan atau merenovasi rumah. Doa yang
dikatakan biasanya menggunakan campuran bahasa Arab dan Jawa. Ketika ditanya
kalau seseorang dari desa pernah melihat Joko Sidono Bapak setempat mengatakan
bahwa sering ada orang yang melihatnya. Akan tetapi kalau ada keinginan bertemu
dengannya seorang harus datang ke lokasinya dan bertapa. Ketika dia muncul dia
berdiri di atas candi akan tetapi hanya mereka yang telah bertapa dapat
melihatnya.
Ada pula orang Hindu yang pernah mengunjungi
candi ini tetapi biasanya hanya untuk sementara dan upacaranya tidak terlalu
lama. Menurut orang setempat sumua patung-patung pernah dicuri dan dibawa ke
Malang untuk dijual luar negeri. Dua patung tersebut dikembalikan ke lokasinya
akan tetapi kebanyakan hilang.
Kabupaten Nganjuk
Candi Ngetos
Terletak di tengah Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos (lihat Gambar
II-22). Candi ini yang dikelilingi hutan dan gunung dikira merupakan tempat
pemuliaan Raja Hayam Wuruk.[36]
Menarik bahwa di sebelah candi ada sekolah Islam. Atapnya telah hilang tetapi
bangunan itu agak besar. Keadaannya baik dan dahulu ada proyek ronovasi.
Menurut orang yang tinggal di sebelahnya candi ini tidak digunakan
dalam arti keagamaan oleh orang setempat. Ada orang Hindu yang datang untuk
bersembahyang. Mereka datang sebagai rombongan tetapi biasanya tidak tinggal
lama.
Candi Lor
Dikitari sawah petani, Candi Lor-yang terletak di Desa Candirejo,
Kecamatan Loceret terlihat berdiri kukuh dan adalah salah satu dari beberapa
situs arkeologi yang berasal dari masa Pu Sindok (lihat Gambar II-23).[37]
Candi ini, yang dikelilingi pagar kawat berduri, dipenuhi banyak pohon dan
beberapa tanaman buah. Suasana Candi Lor itu benar-benar sepi. Candi Lor kini
terancam roboh oleh pertumbuhan pohon, yang tumbuh di bagian belakang candi.
Batu-bata di sisi kanan Candi Lor telah banyak yang hilang.
Menurut orang setempat Candi itu hanya ramai pada hari Minggu ketika
didatangi anak-anak SMU. Apabila hari-hari biasa, paling hanya anak muda yang
mau tidur di situs.
Kabupaten Malang
Menarik bahwa candi yang terletak dekat Malang tidak memiliki sifat
keagamaan seperti candi lain di Jatim. Mungkin ini akibat lokasinya dekat kota
besar. Candi yang dekat Malang lebih sering dikunjungi rombongan sekolah dan
persatuan seperti Pramuka.
Candi Jago
Candi ini berjarak 22km timur Malang di Desa Tumpang, Kecamatan
Tumpang (lihat Gambar II-24). Candi ini merupakan salah satu peninggalan agama
Budha.[38]
Bangunan menghadap ke timur dan dari atapnya ada pemandangan Gunung Kawi,
Pergunungan Tengger dan tanah datar Malang. Suasana sepi dan hanya ada suara
dari sekolahnya yang terletak di sebelah candi. Ada banyak sekali patung-patung
di halaman tetapi menurut seorang desa setempat patungnya dipenggal orang
Belanda oleh karena dikira ada emas didalamnya.
Menurut orang setempat ada orang Budha dan orang Hindu yang
mengunjungi candi akan tetapi sekarang ini tidak ada orang lokal yang
menggunakan candi ini dalam arti keagamaan. Anak-anak dari rumah di sekitarnya
menggunakan candi ini untuk bermain dengan layang-layangnya.
Candi Kidal
Candi ini terletak di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang dan dibuat
pada abad ke-13 (lihat Gambar II-26).[39]
Candi Kidal rindang dan dikelilingi pohon besar dan rumah-rumah di sebalahnya.
Candi ini memiliki suasana yang tenang dan sepi.
Ada bukti bahwa candi ini masih sering digunakan sebagai tempat
pemujaan oleh karena adanya batang dupa di dalamnya. Juru kuncinya mengatakan
bahwa orang-orang dari komunitas-komunitas di sekitarnya sering datang untuk
mengadakan upacara. Orang itu adalah baik umat Hindu maupun orang yang memegang
kepercayaan asli. Saya juga mendengar cerita bahwa candi ini pernah di bom
kira-kira 15 tahun yang lalu tetapi pelakunya tidak terungkap.
Candi Singosari
Terletak di Desa Candirenggo, Kecamatan
Singosari kurang lebih 11km dari pusat kota Malang (lihat Gambar II-27).
Rupanya halamannya dirawatkan akan tetapi candi ini dekelilingi rumah yang
tidak terlalu menginspirasikan atau membuat suasana alam. Candi ini besar
sekali dan di sekitarnya terdapat banyak patung Siwa dan Budha. Di sebelah
barat Candi Singosari (kurang lebih 100 Meter) terdapat dua arca besar yang
mempunyai tinggi 3.7m yang disebut sebagai penjaga.
Ada juru kunci yang tahu tentang sejarah candi. Menurutnya candi ini
masih dikunjungi oleh orang Hindu. Dekat candi Singosai juga ada Petirtaan
Watugede. Keadaan situs ini dilaporkan dalam Jawa Pos.[40]
Menurut artikel ini beberapa bintang filem dari Jakarta datang ke sana sebulm
mereka “syuting”. Mereka mandi pada malam hari karena mereka meyakini bahwa air
berfungsi untuk pensucian dan dengan mandi di sana jiwanya menjadi tenteram.
Artikel ini juga menyebutkan beberapa masalah yang sekarang dihadapi penjaga
peninggalan purbakala oleh karena kekurangan dana pemeliharaan.
Candi Sumberawan
Terletak di kaki Gunung Arjuna di luar Desa Toyomerto, Kecamatan
Singosari, situs in dibuat pada akhir abad ke-14 (lihat Gambar II-25).[41]
Situs ini merupakan salah satu dari dua bangunan bermacam stupa yang ada di
Jatim. Candi ini merupakan salah satu yang terindah di Jatim oleh karena
lokasinya. Untuk mencapai ke candi ini harus berjalan melewati sawah dan sungai
kecil. Pada zaman dahulu candi ini terletak di tengah-tengah telaga.[42]
Sekarang ini telaga yang jernih terdapat di selatan candi. Airnya digunakan
untuk minum dan mengairi sawah penduduk. Airnya bersih dan segar sekali.
Suasana di candi ini sangat sepi dan tidak ada orang selain beberapa orang desa
yang memanfaatkan lokasinya untuk mencari rumput makanan bagi ternyaknya.[43]
Ada seorang Budha yang tinggal di sebelah Viahara Batu, Malang. Pada
suatu saat dia merasa ketegangan untuk masuk agama resmi sehingga dia menjadi
orang Islam – tetapi menurut dia konversi ini hanya merupakan konversi KTP dan
dia tidak mengerti atau menganut agama Islam. Sebelum itu dia menyebutkan
kepercayaannya sebagai kepercayaan asli Jawa. Setelah itu ada Biksu Budha dari
Thailand yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan Dharma dan dia memutskan untuk masuk agama Budha. Setelah dia masuk
agama Budha dia sering mengantar anaknya ke candi Sumerawan dengan alasan
memperdalamkan kepercayaannya dan mempertunjukkan kepada anaknya bahwa agama
Budha itu telah lama ada di Jawa. Dia juga ingin anaknya mengetahui sejarah
agama Budha di Jawa dan khususnya Jatim. Ketika dia pergi ke Candi Sumberawan
dia biasanya duduk dalam dan bersemadi bersama dengan anaknya.
Setiap Hari Waisak Candi Sumberawan dikunjungi umat Budha untuk
merayakan kehidupan Sang Budha. Mereka biasanya datang pada sore hari dan
bersemadi sesuai dengan kepercayaannya.[44]
Candi Badut
Candi Badut terletak di Desa Karangbesuki, Kacamatan Dau (lihat
Gambar II-28) tidak jauh dari pusat kota Malang. Terletak di tengah perumahan,
tidak sulit membayangkan bahwa candi ini akan digunakan dalam strategi
pemasaran pada masa depan. Walaupun dekat dengan pusat kota Malang suasananya
tenang. Ada pemandangan gunung ke arah barat dan utara yang menyenangkan.
Menurut Soekmono sebuah prasasti yang ditemukan dekat Candi Badut berangka
tahun 760 M. dan merupakan pertama kalinya Jatim muncul dalam sejarah.[45]
Anak-anak muda setempat bercerita tentang juru kuncinya. Ternyata
kamar tamu dapat disewa per jam oleh pemuda-pemuda dari desa di sekitarnya.
Biasanya jasa ini dimanfaatkan oleh remaja-remaja yang ingin mencari tempat
sepi untuk berkencang. Selama dua jam di lokasi ada dua pasangan yang memanfaatkan jasa ini. Ini merupakan cara
yang unik sekali untuk mencari dana. Candi ini juga digunakan oleh anak-anak
muda setempat untuk bermain musik dan “ngongkrong”.
Menurut anak-anak setempat tidak lagi ada orang datang ke sana untuk
selamatan. Mungkin ini akibat perumahan karena orang yang tinggal di dalamnya
biasanya bukan orang lokal dan dari bentuk rumah-rumah rupanya mereka berasal
dari kelas tengah dan di atas. Atau mungkin ini merupakan tanda bahwa orang
muda sekarang ini tidak tertarik atau tidak diajar tentang aktivitas keagamaan
yang dilakukan di candi itu.
Candi Songgoriti
Candi Songgoriti terletak dekat Desa Songgoriti, Kecamatan Batu, di
lembah yang memisahkan lereng Gunung Arjuna dengan lerung Gunung Kawi (lihat
Gambar II-29). Sekarang bangunan ada di dalam halaman Hotel Songgoriti.
Lokasinya tidak terlalu mengesankan karena dikelilingi bungalo-bungalo akan
tetapi halamannya dirawatkan dan ada pemandangan gunung-gunung yang mengelilingi
lokasi ini. Udara di sana sejuk akan tetapi candi ini terletak di sebelah jalan
utama yang menuju ke pusat Songgoriti. Candi Songgoriti dibangun di atas mata
air panas. Yang tertinggal sekarang agak runtuh. Patung-patung hampir semua
hilang tetapi masih ada beberapa arca Dewi. Candi berukuran 2 meter dan tidak
memiliki tangga masuk seperti candi lain di Jatim.
Sekarang air panas disalurkan ke Hotel Songgoriti di mana terdapat
permandian. Dahulu airnya keluar dari saluran yang terletak tepat di tengah
ruangan candi. Menurut tukang kebun Hotel Songgorit candi ini tidak lagi
digunakan dalam arti keagamaan. Paling candi ini merupakan tempat
kepariwisataan terutama bagi orang yang mengunjungi Hotel Songgoriti.
Kabupaten Probolinggo
Kabupaten Probolinggo juga memiliki beberapa peninggalan purbakala.
Tempat pariwisata Air Terjun Madakaripura dikira berkaitan dengan Gajah Mada
yang memanfaatkan lokasinya sebagai tempat pertapaan.[46]
Candi Jabung
Situs Budha ini terletak dekat jalan utama pantai di Desa Jabungcandi,
Kecamatan Paiton (lihat Gambar II-30) dan dibangun pada tahun 1354.[47]
Waluapun dipisahkan oleh jalan situs ini memiliki suasana yang sepi dan tenang.
Lokasinya dikelilingi berbagai macam pohon.
Ada dua bangunan yaitu Candi Induk dan Candi Sudut yang lebih kecil.
Dibuat dari batu-bata merah, bangunan utama memiliki gaya yang unik dan
mengesankan. Tingginya mencapai 16 meter. Candi ini dalam keadaan yang sangat
baik.
Menurut juru kuncinya orang Hindu dan Budha menggunakan candinya
dalam arti keagamaan. Kadang-kadang orang Bali mengunjungi candi ini biasanya
ketika mereka datang dari Bali menuju Gunung Semeru atau candi lain di Jatim.
Orang Hindu yang datang biasanya mengadakan upacara di mana mereka duduk dan
bersembahyang.
Setiap tahun anak-anak muda setempat membuat pesta tamat sekolah
dengan api unggun di candi. Ini dilakukan untuk merayakan akhir sekolah.
Anak-anak kecil setempat juga senang main-main dalam halamannya dan ada yang
mencari buah maja di pohon-pohon di sekitarnya.
Kabupaten Pasuruan
Terletak di Kabupaten Pasuruan adalah
gunung-gunung yang dianggap penting oleh beberapa aliran agama dan kepercayaan
di Jawa (Gambar II-31).
Candi Gunung Gangsir
Candi Gunung Gangsir terletak di Desa Gunung Gangsir, Kecamatan
Beji, dikira dibangun pada abad ke-11 (lihat Gambar II-32).[48]
Candi ini terdapat di tengah desa dan halaman dikelilingi jalan dan rumah.
Bangunannya agak besar tetapi lubang masuk sangat kecil sehingga tidak mungkin
orang dewasa dapat masuk ruang di dalamnya. Keadaannya kurang baik dan orang
setempat mengatakan bahwa banyak patung dicuri orang Jepang.
Orang desa setempat mengadakan selamatan sebulan sekali pada hari
Jumat Legi. Selamatan ini disebut
selamatan dusun oleh orang setempat dan diadakan di halaman depan candi yang
agak luas. Menurut orang setempat yang mempunyai candi ini ialah Nyi Srigati
(Mbok Rondo Dermo). Mereka meminta berkat supaya desa dijaga. Upacara itu tidak
pernah dilewatkan kecuali selama Ramadhan ketika (menurut juru kuncinya) orang
semua berpuasa. Kegiatannya mulai pada jam 10. Semua orang dari desa di
sekitarnya berkumpul supaya “desa jadi satu” dan setiap pengikut membawa
makanan sendiri. Mereka berdoa dalam campuran bahasa Jawa dan Arab. Kononnya
Mbok Rondo Dermo masih dikira berdiam di candi. Baik laki-laki, perempuan dan
anak-anak menghadari upacaranya.
Ada cerita rakyat tentang wanita itu dan dia dikira orang yang
pernah tinggal di desa ini. Saya dengar cerita ini dari juru kuncinya. Dahulu
sebelum manusia mengenal bercocak tanam kehidupan manusia selalu mengembara.
Yang dimakan sebangsa adalah rumput-rumput. Pada suatu ketika datanglah
perempuan, tidak diketahui dari mana asalnya, yang bernama Nyi Srigati. Dia
mengajak penduduk minta penunjuk kepada Hyang Widi untuk mengatasi bahan
makanan yang semakin berkurang. Suatu ketika datang burung-burung gelatik yang
membawa padi-padian yang dijatuhkan berupa padi dan kulit. Padi dan kulit itu
ditanam (di sebelah utara candi). Tanaman padi berbuah padi biasa dan tanaman
kulit berbuah batu permata. Batu permata itu menyebabkan Nyi Srigati menjadi
kaya raya dan akhirnya dia terkenal sebagai Mbok Rondo Dermo.
Oleh karena kekayaannya, pedagang dan para penduduk ingin menjual
batu permata ke daerah lain. Di tengah jalan pedagang dan pedagang ingin
menggelapkan barang dagangan di dalam prau. Karena kekuatan gaib Nyi Srigati
prau tersebut tenggelam serta menjadi Gunung Prau (di lereng Gunung
Penanggungan). Para penjahat juga ingin memiliki kekayaan tersebut. Pencuri itu
gagal oleh karena kegagalannya minimbulkan nama-nama desa di sekitar candi,
yang antara lain: Gunung Gangsir, Selo Tumpuk, Sumber Tumpuk, Selo Kambang,
Dermo Keboncandi, Babat, Kedanton dll. Bangunan Gunung Gangsir dikira merupakan
tugu peringatan keberhasilan Nyi Srigati dalam bercorak tanam oleh orang desa setempat.
Candi Jawi
Candi Jawi merupakan salah satu bangunan suci bagi umat Hindu dan
Budha (lihat Gambar II-34). Candi ini terletak di Desa Candiwates, Kecamatan
Prigen di tengah perjalanan antara Pandaan dan Prigen. Pemandangannya bagus
sekali dengan memandang pergunungan dan tanah datar. Ketinggian candi ini
sekitar 24 meter. Di sebelah utara ada runtuhan candi bentar dan
bangunan-bangunan lain. Agak menarik bahwa ada relief-relief yang menunjukkan
bentuk candi pada zaman dahulu ketika masih dalam keadaaan dahulu.
Menurut Bapak juru kunci sering ada rombongan Budha yang datang
untuk bersemadi. Kadang-kadang mereka diikuti oleh para Biksu yang memimpin
upacaranya. Katanya, rombongan-rombongan ini tidak hanya berasal dari Jatim
tapi juga dari daerah yang sejauh Jakarta, Sulawesi dan Kalimantan. Biasanya
mereka duduk atau mengelilingi candinya ketika bersemadi.
Petirtaan Belahan
Petirtaan Belahan dikira merupakan tempat makam Raja Airlangga dan
terletak di ujung lembah dalam hutan lebat dekat Desa Wonosonyo, Kecamatan
Gempol (lihat Gambar II-33).[49]
Lokasinya luar biasa akan tetapi tempat mandi berada di sebelah jalan. Ada
pemandangan Surabaya dan tanah datar ke arah timur dan utara. Disebut orang
setempat ‘Sumber Gamber’ atau Candi Tetek dengan alasan yang jelas oleh karena
airnya keluar dari puting susu salah satu arca yang terdapat di sebelah
permandian.
Airnya masih digunakan orang setempat untuk kehidupan sehari-hari
dan irigasi. Mereka percaya bahwa air yang keluar di sana adalah minuman para
Dewata.[50]
Ada bukti bahwa orang-orang masih memuja di sana oleh karena adanya dupa dan
daun bunga. Yang menarik wanita tidak diperbolehkan mandi di dalam kolam utama.
Orang Hindu juga datang ke sana kalau mereka berziarah ke Gunung Penanggungan
yang memiliki arti penting dalam kepercayaan Hindu Jawa dan Bali. Para pendaki
gunung yang dapat berjalan dari situs ini ke Petirtaan Jolotundu atau
sebaliknya juga mandi di sana. Justru sangat segar kalau mandi di tempat
seperti ini setelah turun dari perjalaan mendaki.
Situs-situs di Lereng
Gunung Arjuna
Situs-situs yang terletak di lereng timur Gunung Arjuna memiliki
arti yang sangat penting bagi orang Jawa yang percaya bahwa nenek-moyangnya dan
Dewata berdiam di sana. Terdapat dua grup situs utama yaitu grup Sepila dan grup
Indrokilo.
Ketika mengunjungi Sepilar (yang terletak pada ketinggian 2075m di
atas permukaan laut) ada dua persatuan pendakian yang bernama SMA-sapala dan
Djaladri yang sedang mendaki Gunung Arjua (lihat Gambar II-37). Mereka
menggunakan situs-situsnya untuk berkemah. Perjalaannyua mulai dari Desa
Tambakbatu dan selama perjalanan ke Sepilar, yang melewati banyak situs, ada banyak penziarah yang sedang berada di
Gunung Arjuna. Grup Sepilar memiliki 12 situs yaitu:
1.
Bhatara Guru;
2.
Candi Madrin;
3.
Patuk Lesung;
4.
Candi Kembang;
5.
Candi Lepek;
6.
Rhatawu;
7.
Hyang Semar;
8.
Watu Ireng;
9.
Rancang Kencana;
10.
Candi Wesi;
11.
Makutarama; dan
12.
Sepilar.
Di berapa situs antara ini dibangun tempat inap dan makan untuk para
penziarah. Di selatan Sepilar terdapat alas
sukma ilang (hutan nyawa hilang). Di Makutarama ada bangunan tradisional
yang didiami oleh Pak Makutarama (lihat Gambar II-38). Dia tetap tinggal di
sana dan menerima bantuan dari pengunjung yang berzirarah ke Gunung Arjuna.
Pak Makutarama itu (dan memang kebanyakan penziarah di Gunung
Arjuna) sangat senang membicarakan arti bangunan yang ada di Gunung Arjuna,
pengalamannya dan filsafat Jawa. Pada zaman Majapahit Para Biksu yang tinggal
di lingkungan alam pergunungan merupakan sumber ilmu bagi raja-raja dan di
tempat itu dibahas masalah-masalah kejiwaan termasuk agama Siwa maupun Budha.[51]
Rupanya penggunaan itu berjalan terus sekarang. Ketika menanyakan agama Pak
Maku dia berkata bahwa dia tidak dapat menyebutkan agamanya dan mengatakan
“Selain Allah tidak ada Tuhan, selain aku tidak ada Kamu.”
Katanya bangunan yang ada di sana berasal dari kerajaan Hindu akan
tetapi memiliki beberapa sifat kepercayaan asli Jawa yaitu bangunan berpundak.
Di bangunan berpundak ini orang-orang bersembahyang dan bermeditasi.
Bangunannya berorientasi kepada puncak gunung dan secara umum altar adalah batu
susunan batu datar tanpa sandaran di bagian belakangnya (lihat Gambar II-35).[52]
Menurut Pak Makutarama “Kalau nggak bersih nggak bisa pandang.” Yang
berarti, kalau orang-orang tidak pergi ke tempat-tempat yang suci untuk mencari
keterangan dalam mereka tidak dapat melihat kebenaran.
Antara orang yang berziarah ke sana ada yang memiliki kepercayaan
bahwa para arwah nenek-moyang masih selalu melindungi para asli warisnya. Untuk
keperluan itu para penziarah mengadakan sembahyang pumjaan roh di altar-altar -
dengan harapan para arwah bermurah hati untuk melindungi mereka semua. Pada
ketika upacara berlangsung roh leluhur diyakini turun dan berdiam sementara di
altar-altar. Ketika bertakhta di altar tersebut arwah leluhur itu dianggap
dapat berhubungan langsung dengan para pemuja. Altar juga berfugsi sebagai
tempat menempatkan sesaji.
Grup situs Indrokilo merupakan pertapaan terbesar di Jawa.
Orang-orang di sana sering berkata bahwa tempatnya pernah digunakan oleh “Bung
Karno” sehingga memiliki arti yang lebih dalam bagi orang Jawa. Ada banyak
legenda yang berkaitan dengan situs ini. Salah satunya adalah bahwa suatu
rombongan pecinta alam bertiga mendaki melewati Indrokilo tanpa minta ijin
dahulu. Akibatnya salah satunya mengalami patah kaki, satu menjadi buta san
satu tewas. Juga orang-orang dapat makan dengan tangan kotor di wilayah
Indrokilo oleh karena di sana tidak terdapat penyakit. Grup Indrokilo terdiri
dari empat tempat utama yaitu:
1.
Satria Manggung;
2.
Indrikilo;
3.
Candi Laras; dan
4.
Gua Gambir.
Pada zaman dahulu orang dapat menyewa kuda tetapi sekarang tidak
boleh dan harus berjalan sendiri. Kata orang di sana, “Sengsara susah, baru
senang”. Yang berarti bahwa sebelum kita bangga kita harus benar-benar susah
dahulu. Ada orang di situs-situs yang mencurigai orang asing tetapi setelah
mereka tahu bahwa seorang akan menghormati para penziarah mereka langsung
menerimanya.
Ketika mengunjungi Indrokilo ada dua penziarah yang berasal dari
Sidoarjo. Di situs pertama Satria Manggung orang yang ingin berziarah ke
Indrokilo harus minta ijin masuk dahulu (lihat Gambar II-39). Pada zaman dahulu
ini merupakan pertapaan Eyang Satra Manggung (seorang penjaga). Menurut
orangnya orang-orang tidak boleh masuk kalau tidak minta ijin dahulu. Yang
pertama mereka harus duduk dan mengetuk tiga kali oleh karena mau masuk rumah
roh-roh yang mendiami daerah ini. Apabila tidak minta ijin dahulu di situs ini
kita dapat diusir. Mereka memohon kepadanya untuk ijin masuk. Orang-orang setempat
tidak tahu persisnya siapa orang itu tetapi dikira dia berhubungan dengan
Kerajaan Majapahit. Situs ini merupakan pintu masuk untuk masuk wilayah
Indrokilo.
Yang menarik juga, orang diminta tidak berfoto setelah berangkat ke
atas dari stius ini. Alasannya karena seorang harus menjaga suasana suci yang
berada di wilayah ini. Ada pohon jeruk Bali yang menutupi situs ini dan ketika
kami sampai ke sana ada satu buah yang jatuh. Ini dianggap sebagai tanda oleh
penziarah dan mereka berhenti dan makan. Ternyata jeruk itu manis sekali dan
ini diduga sebagai tanda yang baik olehnya.
Selekas-lekasnya setelah masuk wilayah Indokilo seorang akan
menyadari bahwa tempat ini bukan tempat wisatawan. Sedangkan sulit untuk
menjelaskan mengapa, orang-orang berkata bahwa mereka mengalami perasaan aneh
ketika mendaki gunung ini. Mungkin ini alasannya puncak gunung-gunung dianggap
tempat suci dan tempat kediamaan para roh dan nenek-moyang. Pikiran ini tidak
hanya unik ke kepercayaan Timur, dengan bukti Gunung Olympus antara yang lain.
Tempat ini mengingatkan saya kepada cerita tentang cara memuja
Jamaika Rastafari. Sering penganut
kepercayaan itu return to the hills
(kembali ke gunung-gunung) untuk aktivitas bermediatsi dan yang disebut olehnya
reasoning (penjelasan). Masalah-masalah
yang berhubungan dengan sifat manusia, filsafat, tempatnya Tuhan dan Kitab
Injilnya didiskusi dan dijelaskan bersama-sama. Mungkin salah satu perbedaan
penting antara aktivitas yang dilakukan di Arjuna dan Jamaika adalah bahwa di
Jamaika mereka menggunakan ganja sebagai sakramen sedangkan di Arjuna kopi dan
rokok kretek yang lebih disukai. Juga para Rastafari main musik untuk medekati
Tuhan akan tetapi di Arjuna musik dianggap tidak sesuai dengan suasananya.
Salah satu orang (dalam rombongan saya) yang membawa gitarnya diminta
menitipnya dengan juru kuncinya yang tinggal di bawah.
Di setiap situs ada banyak tempat tinggal dan makann yang disediakan
untuk penziarah semua. Pada malam hari ada yang bersemadi dan ada yang
mangadakan pembicaraan yang berjalan sampai pagi. Mereka berdiskusi tentang
masalah-masalah hidup dari pandangan Jawa. Ada pula yang bersemadi dan orang
yang paling dihormati di Indrokilo ialah Ibu Santri. Dia bersemadi setiap hari
dari jam 6 malam sampai jam 2 pagi.
Filsafat yang dipraktekkan di sana mengambil pikiran dari setiap
agama. Apabila kita hidup sehat saja kita tidak menyadari bahwa kita hidup
tetapi kalau kita sakit kita baru menyadari bahwa hidup itu terbatas dan kita
akan mati pada satu hari yang tidak tertentu (kedengaran seperti ajaran Sang
Budha). Wanita dianggap sebagai sesuatu yang paling bahaya bagi laki-laki
dibuktikan oleh beberapa cerita sepanjang sejarah misalnya Samson, Sukarno
(oleh karena “cewek Jepang”, Adam, dan Anthony antara yang lain. Pada pokoknya
orang-orang mengambil unsur-unsur dari setiap agama. Saya diberi tahu bahwa
orang yang berziarah mengikut jalannya Sang Budha – untuk melepaskan dirinya
dari semua masalah duniawi. Katanya semua agama berasal dari beras tetapi kalau
beras dimasak ada bermacam-macam aliran yaitu lontong, nasi dll.
Untuk beberapa orang candi dan tempat pemujaan merupakan symbol
saja. Seperti konsepsi Islam – Allah adalah symbol saja supaya orang dapat
meluruskan pikirannya, supaya kosentrasi tidak pergi ke tempat lain. Orang datang
untuk mencuci pikiran dan menjadi tajam tetapi katanya mereka harus
berhati-hati supaya tidak menjadi kejam. Katanya bukan ritual yang adalah guru
utama melainkan pengalaman. Dupa mewakili api yang penting untuk kehidupan
manusia. Juga terdapat patung nenek moyangnya yang dipuja dan seorang penziarah
mengatakan bahwa patung itu merupakan simbol yang melandangkan nenek moyang
kita (lihat Gambar II-36). Apabila dia bersemadi di depannya dia memikirkan
kehidupannya kalau nenek moyangnya tidak hidup sebelumnya.
Kita dapat melihat bahwa situs-situs yang ada di lereng Gunung
Penanggungan digunakan oleh banyak orang dengan bermacam-macam alasan oleh
karena mereka memiliki kepercayaan masing-masing. Pada pokoknya, bukan riutal
atau kelakuan ortodoks yang dianggap paling penting melainkan pengalaman.
Kabupaten Sidoarjo
Saya diantar ke situs-situs di Kabupaten Sidoarjo oleh seorang yang
dahulu sering menunjunginya dengan organisasi PMR (Palang Merah Remaja) dalam
rangka pendidikian di luar.
Candi Pari
Candi
Pari, yang dibangun pada tahun 1371, terletak di Desa Candipari,
Kecamatan Porong (lihat Gambar II-40).[53]
Candi ini agak besar dan dibuat dari batu bata merah. Di atas pintu masuk ada
kayu yang ditambah orang Belanda dalam suatu proyek renovasi. Ruang yang di
dalam candinya luas sekali dan terdapat patung dan altar dengan bahan-bahan
pujaan.
Bapak juru kunci menceritakan bahwa pernah ada patung dicuri dari
situs ini. Akan tetapi pencuri mulai bermimpi tentang patung dan akhirnya ada
keinginan untuk mengembalikannya. Menurutnya orang yang datang biasanya merasa
dalam hatinya bahwa mereka harus ke Candi Pari. Katanya “orang yang terpanggil
dalam rasa – mendapat penunjuk”. Orang dari desa-desa di sekitarnya datang
untuk mengadakan selamatan biasanya pada malam Jumat atau malam Senin. Setiap
tahun ada selamatan utama yang diadakan pada bulan Sabar (tanggalan Jawa). Selamatan yang diadakan di sana berhubungan
dengan Dewi Sri.
Candi Sumur
Candi Sumur terletak di tengah rumah dan ditutupi perancah di Desa
Candipari, Kecamatan Porong (lihat Gambar II-42). Menurut juru kuncinya,
walaupun pada zaman dahulu candi ini memiliki peran yang penting, sekarang
jarang sekali ada orang yang memikirkan candi Sumur dalam arti keagamaan.
Candi Dermo
Terletak di Desa Pamotan, Kecamatan Wonosonyo, candi ini sangat
mengejutkan oleh karena tingginya (lihat Gambar II-43). Suasananya tenang dan
candinya ditutupi pohon-pohon dan ada anak-anak yang bermain di halaman di
sekitarnya.
Candi ini agak runtuh sekarang dan terdapat dua patung di depannya
yang sedikit rusak. Candi ini digunakan oleh orang setempat untuk mengadakan
selamatan dan di depan candinya ada tempat untuk dupa dan daun bunga. Orang
Hindu juga pernah datang untuk bersembahyang.
Selama saya berada di candi ada dua rombongan remaja yang datang
dari Sidoarjo untuk berkunjung. Menurut Ibunya jarang sekali ada wisatawan
asing yang datang ke Candi Dermo. Ada rombongan Pramuka yang mengunjungi
candinya untuk belajar tentang sejarah.
Saya mendengar cerita dari yang menarik dari salah satu orang yang
tinggal dekat candi itu. Katanya pada zaman Belanda neneknya berpacaran dengan
orang Belanda. Pada suatu hari pacarnya mebawa mobil dengan maksud untuk
mengambil patung-patung yang berada di candi. Ketika dia memasukkan patungnya
dalam mobilnya, itu tidak mau hidup. Setelah patungnya dikeluarkan, mobilnya
dapat dihidupkan lagi. Sekali lagi dia mencoba memasukkan patungnya dalam
mobilnya dan sekali lagi mobilnya tidak dapat dihidupkan. Akhirnya patungnya
dikembalikan ke tempatnya. Bapak itu juga mengatakan bahwa batu-bata pernah
diambil dari lokasinya tetapi orang yang mengambilnya menjadi gila. Rohaniah
hanya kembali setelah selamatan diadakan oleh orang-orang setempat.
Di belakang candi ini terdapat dua sumur air dan umurnya diduga sama
dengan candi. Dahulu, sebelum ada air keran, orang desa memanfaatkan airnya
untuk minum dan mandi. Juga ada satu sumur di belakang mushola yang digunakan
oleh orang untuk solat – mungkin penggunaan ini tidak dapat dibayangkan oleh
orang-orang yang membangunkan sumur itu pada zaman Majapahit.
Candi Pamotan
Candi ini yang terletak di Desa Pamotan, Kecamatan Porong, agak
hancur dan hanya kakinya tertinggal dikelilingi parit yang berisi air kotor
(lihat II-41). Halaman candi sama sekali tidak ada dan rumah yang sangat dekat.
Bangunan ini tidak begitu mengesankan dan tidak ada yang menggunakannya dalam
arti keagamaan menurut juru kuncinya.
Kabupaten Jombang
Candi Rimbi
Candi Rimbi terletak di gunung-gunung di sebelah tenggara Mojowarna
di Desa Pulosari, Kecamatan Bareng, di sebelah jalan yang menuju ke Wonosari
(lihat Gambar II-44). Lokasinya dikelilingi hutan dan pemandangannya bagus
sekali. Candi Rimbi bersifat Siwa dan didirikan untuk memuliakan puteri Raja
Raden Wijaya.[54]
Bagian atas candi ini telah runtuh tetapi kakinya masih dalam keadaan baik dan
diahiasi dengan relief.
Orang setempat mengadakan selamatan di candi
ini yang “pakai sajen gitu” Biasanya orang-orang minta restu kalau ada sunatan
atau pernikahan dll. supaya tidak ada halangan. Ketika ditanya mengapa
orang-orang membuat selamatan di candi ini seorang Ibu menjawab bahwa alasannya
karena adat. Suasananya tenang dan halamannya digunakan oleh anak-anak muda
setempat untuk bermain dengan layan-layannya.
Kabupaten Mojokerto
Termasuk dalam wilayah Kabupaten Mojokerto adalah beberapa tempat
dan situs yang sangat penting dalam arti spiritual. Ada Gunung Penanggunan yang
dipercaya sebagai tempat pendiaman Dewata dan roh-roh nenek-moyang oleh umat
Hindu dan orang yang cenderung kepada kepercayaan Jawa (lihat Gambar II-45).
Juga terdapat bekas Ibu kota Majapahit yang memiliki banyak situs purbakala dan
tempat pemujaan. Mojokerto memiliki arti yang penting bagi orang Jawa Islam
oleh karena terdapat beberapa makam di antaranya Makam Putri Champa yang dikira
adalah isteri raja terakhir Majapahit.[55]
Kata orang setempat dia mengkonversikan raja terakhir itu. Setiap hari ada yang
mengunjunginya dan bersembahyang.
Candi Bajang Ratu
Candi Banjang Ratu, terletak di Desa Temon, Kecamatan Trowulan,
merupakan salah satu atraksi utama di Trowulain dan dibangun pada pertengahan
abad ke-14 (see Gambar II-46).[56]
Bangunan dan lokasinya indah dan dikelilingi halaman yang berisi pohon-pohon
dan bermacam-macam bunga. Candi ini memiliki kedekatan dengan alam dan ada kanal
kurang lebih 200 meter di sebelah depan bangunan utama. Sebetulnya Bajang Ratu
itu bukan candi melainkan gapura dibuat dari batu-bata merah. Bentuknya ramping
dan tingginya kira-kira 16m.
Menurut Bapak juru kuncinya orang Bali datang untuk mengadakan upacara
yang mereka menganggap suci. Yang menarik, candi ini tidak digunakan oleh orang
Hindu Jawa dalam arti keagamaan. Ada bukti bahwa ada upacara di sana dengan
adanya abu-abu, daun bunga dan dupa di tengah pintunya.
Candi Bangkal
Candi Bangkal terletak di Desa Candirejo, Kecamatan Ngoro, di tanah
datar di bawah Gunung Penanggungan (lihat Gambar II-47). Situs ini dikelilingi
rumah dan sawah. Pemandangan Gunung Penanggungan dan Gunung Kelud baik sekali
dari lokasi ini. Candi ini terbuat dari batu-bata merah. Bagian kaki dan tubuh
candi dihiasi pahatan relief-relief. Keadaan candi ini masih baik akan tetapi
ada yang jatuh dari bagian atas.
Orang desa setempat mengadakan selamatan di sana dan menurut orang
setempat danyang yang dipuja tidak
memiliki nama atau cerita sendiri. Anak-anak di desa setempat menggunakan
halaman candi ini untuk bersepeda dan main bola.
Candi Brahu
Candi Brahu terletak di Desa Bejojong, Kecamatan Trowulan (lihat
Gambar II-47). Lokasinya di tengah ladang akan tetapi agak panas oleh karena
tidak adanya pohon. Candi ini mengesankan oleh karena tingginya akan tetapi
agak sederhana. Unsur-unsur hiasan tidak ada.
Candi ini penting bagi orang Hindu oleh karena dikira bahwa beberapa
raja Majapahit dikremasi di sana. Mereka datang dan mengadakan upacara
berkatian dengan pemujaan nenek-moyangnya. Menurut orang setempat tidak lagi
ada orang Jawa yang menggunakan situs ini dalam arti agama. Dekat candi ada
rumah-rumah Hindu dan memang terdapat komunitas Hindu yang tinggal di Trowulan.
Candi Jedong
Candi Jedong terletak di Desa Jedong, Kecamatan Ngoro (lihat Gambar
II-50). Bangunan di situs ini sebetulnya bukan candi melainkan gapura. Menurut
juru kuncinya gapura ini digunakan sejak awal abad ke-14 dan diduga gapura ini
merupakan gapura masuk suatu percandian atau bangunan suci lain. Candi Jedong
terletak dekat wilayah industri Ngoro dan untuk mencapai ke lokasi ini harus
melewati daerah industri tersebut. Pemandangan sangat baik dengan memandang
Gunung Penanggungan ke arah utara dan tanah datar ke arah selatan.
Menurut juru kuncinya tidak ada orang Hindu yang datang ke situs ini
dalam arti keagamaan oleh karena situs ini bukan candi. Dia juga mengatakan
bahwa dahulu lokasi ini merupakan pintu gerbang perpisahan antara Kerajaan
Majapahit dan Singosari. Ada pasangan yang berkencan di tempat itu. Mereka
duduk di bawah pohon besar yang ada di sebelah gapura dan menurut salah-satunya
mereka datang ke sana oleh karena suasana yang sepi dan pemandangan yang indah
sekali.
Candi Kasiman Tengah
Candi ini terletak di tengah sawah dekat Desa Kasiman Tengah,
Kecamatan Pacet (lihat Gambar II-51). Ini adalah candi yang indah sekali dalam
arti baik lokasi dan kesenian bangungan. Pemandangan dari candi ini luar biasa
dan tidak dapat dibayangkan bahwa pemandangan tersebut tidak berkatian dengan
lokasi candi. Ke arah selatan terlihat Gunung Kelud, ke arah bagian tenggara
ada Gunung Kawi, Gunung Arjuna dan Gunung Welirang dan ke arah timur ada Gunung
Penanggungan. Sedikit sulit untuk mencapai ke candi ini karena tidak ada jalan
dan harus melewati sawah dengan berjalan selama 15 minet. Suasana di candi ini
sangat tenang dan bukti kehidupan modern jauh dari lokasinya. Mungkin situs ini
merupakan salah satu candi yang terindah di Jatim. Di sekitarnya hanya ada
warna hijau dan sungai di mana orang setempat mandi dan mencuci pakaian.
Candi ini dikunjungi para Biksu dari Pusat Meditasi Trawas. Menurut
seorang petani yang ditemui orang setempat kadang-kadang mengadakan selamatan.
Katanya ada danyang yang dapat
ditemui kalau ada keinginan atau supaya desa dan pertanian yang ada di
sekitarnya selamat.
Candi Minak Jinggo
Candi ini terletak di Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan di sebelah
rumah dan sawah (lihat Gambar II-52). Pemandangan Gunung Welirang dan Gunung
Penanggungan baik dari lokasi ini. Kebanyakan bangunan di sana runtuh akan
tetapi kelihatan seperti lebih banyak penggalian dapat dilaksanakan oleh karena
ada batu-bata dan batu besar yang dapat dilihat di bawah gundakan tanah.
Menurut Bapak juru kunci lokasi ini masih digunakan oleh orang
setempat untuk mengadakan selamatan. Orang setempat yang beragama Islam
bersyukur dan minta selamat. Orang Hindu juga berziarah ke situs ini dan mereka
biasanya berasal dari Bali. Kadang-kadang mereka menunjukkan tari-tarian tetapi
hari kedatangannya tidak tertentu.
Candi Kedaton
Candi Kedaton terletak di Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, dan
diduga bahwa ada istana di sana pada zaman dahulu.[57]
Ada suasana keagamaan di situs ini dan tempatnya digunakan oleh beberapa agama.
Juru kuncinya bercerita tentang beberapa legenda yang berkaitan dengan situs
ini. Katanya, raja terakhir Majapahit Brawijaya menghilang di situs ini
daripada menghadapi kekalahan. Setelah itu, dia pergi ke kerajaan gaib yang ada
di puncak Gunung Lawu.
Situs ini memiliki banyak sekali kaki batu-bata. Sebetulnya ada tiga
candi yang merupakan situs Candi Kedaton. Yang terbesar adalah Candi Sumur
Upas, kemudian ada Candi Kuno (lihat Gambar II-52) dan sebuah terowongan
Sanggar Pamelengan. Kompleks agak besar akan tetapi sekarang ini kebanyakannya
runtuh. Terdapat atap yang memiliki dua tujuan, pertama untuk proyek renovasi
dan kedua untuk orang yang bermeditasi supaya mereka dilindungi dari hujan.
Menurut juru kuncinya orang Hindu sering menggunakan tempatnya untuk
mengadakan upacara khususnya pada hari Jumat Legi. Tempat ini digunakan oleh orang dari setiap agama untuk
meditasi. Di Sumur Upas terdapat daun bunga dan tikar untuk orang-orang yang
bersemadi. Biasanya orang datang pada malam hari untuk meditasi. Air dari Sumur
Kuno masih dipercaya dapat meyembuhan berbagai macam penyakit dan sering orang,
baik orang setempat dan orang dari di luar, mandi dengan menggunakan air itu
atau membawahnya pulang. Orang Hindu menggunakan airnya dalam upacaranya.
Candi Tikus
Candi Tikus terletak 900 meter ke arah tenggara dari Candi Bajang
Ratu (lihat Gambar II-53). Dahulu situs ini merupakan petirtaan pada masa
Majapahit. Pemandangan bagus dari sana dengan melihat Gunung Penanggungan dan
pergunungan ke arah selatan.
Masih digunakan oleh orang Hindu baik Jawa dan Bali dan situs ini
memiliki sifat yang penting dalam upacara Hindu oleh karena dalam upacara
tersebut ada air suci. Kolam masih digunakan oleh anak-anak muda untuk mandi.
Dalam arti keagamaan Candi Tikus hanya digunakan oleh orang Hindu.
Ada cerita tentang pertama kali candi ini digali yang berkatian
dengan namanya.[58]
Pada tahun 1914 daerah di sekitarnya diserang tikus dan setiap kali diadakan
pengejaran, tikus tersebut selalu masuk ke sebuah lubang yang teletak di atas
sebuah gundukan. Setelah lubang dibongkar terdapat Candi Tikus. Kata orang
setempat air dari Candi Tikus digunakan oleh petani Trowulan dan seluruh Jatim.
Apabila mereka mempunyai masalah oleh karena diserangi tikus mereka dapat
menyirami sawahnya dengan air dari Candi Tikus dan tikus-tikus itu tidak berani
lagi makan pananannya.
Candi Wringin Lawang
Candi ini terletak di Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan (lihat
Gambar II-54). Candi ini terbuat dari batu-bata merah dan tingginya kurang
lebih 15 meter. Bangunan ini bukan candi melainkan gapura. Ada pemandangan yang
indah ke Gunung Penanggunan dan sawah-sawah di sekitarnya.
Selamatan dikeramatkan orang setempat di sana. Ada upacara besar di
mana orang sedesa membawa ayam untuk roh-roh yang mendiami tempatnya dan
menjaga desa Sentonorejo. Biasanya orangnya memotong dan membulu ayam dan
menempatkannya di sebuah altar yang berada di tengah gapura. Upacara ini
diadakan setahun sekali pada bulan Ruwa.
Tidak ada yang berani makan kaki atau kepala ayamnya karena itu dimasak
khususnya untuk roh itu. Mereka biasanya berdoa dalam campuran bahasa Jawa dan
Arab. Upacaranya diadakan supaya desanya selamat. Orangnya percaya bahwa roh
ini berasal dari kerajaan dahulu akan tetapi dia tidak diberi nama. Ada cerita bahwa pada satu tahun dahulu
upacara ini tidak diadakan. Candi ini terletak tidak jauh dari jalan raya dan
tahun itu ada banyak sekali kecelakaan di daerah candi. Setelah orang setempat
mengadakan upacaranya kecelakaan-kecelakaan berakhir. Kata Bapak juru kuncinya
upacara makan waktu selama satu malam dan merupakan pesta tandaan dimana
orang-orang “senang-senanglah.” Biasanya ada tari-tarian dan musik dan ada
suasana perayaan.
Petirtaan Jolotundo
Terletak dekat Desa Seloliman, Kecamantan Trawas, di lereng timur
Gunung Penanggun adalah Petirtaan Jolotundo. Situs ini dikira berkatian dengan
Raja Airlangga (lihat Gambar II-55).[59]
Situs ini adalah peninggalan yang tertua di Gunung Penanggungan. Suasana sangat
tenang dan sepi dan udaranya sejuk dan bersih. Petirtaannya di kelilingi hutan
lebat.
Orang Hindu, Budha dan orang dari setiap agama datang ke sana untuk
mandi dan bersemadi. Ini merupakan salah satu tempat permulaan untuk berziarah
ke situs-situs yang terletak di Gunung Penanggungan dan orang Hindu biasanya
mulai penziarahan di sana. Ada bukti bahwa masih ada pemujaan di tempat ini
oleh karena adanya dupa dan daun bunga di atas batunya. Ada ikan-ikan besar di
kolam yang paling bawah akan tetapi pemancingan tidak diperbolehkan di kolam
ini.
Candi ini tidak jauh dari Pusat Pendidikian Lingkungan Hidup (PPLH)
suatu lembaga pendidikan tentang lingkungan hidup. Sering ada rombongan sekolah
yang medapat pelajaran di PPLH dan mereka sering di antar ke Jolotundo. Menurut
orang setempat Bung Karno pernah bersamadhi di sana. Malam Jumat Legi banyak orang Jawa datang ke sana
untuk bersembahyang dan bermeditasi.
Ada seorang pelukis dari Ambon yang tinggal di Trawas. Katanya
komunitas seniman yang ada di Trawas menggunakan situs-situs yang ada di
sekitar Jolotundo untuk meditasi dan sebagai sumber inspriasi. Dia belajar
meditasi di Pusat Meditasi Trawas. Menurutnya terdapat “sesuatu” yang tidak
dapat dikatakan di situs-situs tersebut. Dia biasanya bermeditasi dari jam 1
pagi sampai jam 5 kemudiaan mandi di Jolotundo sebelum melukis. Dia meyakini
bahwa hasilnya lebih kreatif setelah penyemadian itu.
Candi Siti Inggil
Terletak di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan tidak jauh dari Candi
Brahu. Ada dua bangunan utama yaitu makam yang didirikan di atas satu kaki
candi dan bangunan lain yang didirkan di atas bangunan kedua (lihat Gambar
II-56). Salah satunya dikira merupakan makam Rada Raden Wijaya – raja pertama
Majapahit sehingga situs ini memiliki arti yang dianggap suci dan penting.
Situsnya terletak di tengah tanah pertanian.
Menurut orang setempat situs ini merupakan
tempat penziarahan bagi orang Jawa dan Bali. Banyak orang dari semua
kepercayaan berziarah ke situs ini. Orang Budha datang untuk bersemadi dan
dekat candi ini terdapat Vihara. Orang Hindu mangadakan upacara di sana. Orang
Islam juga datang ke sana dan ada Mushola yang terletak di lokasi. Menurut
orang setempat mereka datang untuk bersembahayang dan mendekatkan dirinya
kepada Tuhan oleh karena di sana mereka merasa dekat dengan Tuhan.
BAB III:
Isu-isu yang Muncul
Situs-situs
purba digunakan oleh berbagai golongan masyarakat di Jatim dan ada beberapa isu
yng muncul oleh karena penggunaan itu. Kita dapat melihat bahwa arti
peninggalan purbakala sangat berbeda bagi golongan tersebut. Ada yang melihat
bangunan-bangunan itu sebagai tempat suci dan ada yang melihatnya dalam arti
yang tidak spiritual. Rupanya isu-isu spiritual yang muncul jauh lebih banyak
oleh karena sifat bangunannya sebagai tempat pemujaan. Akan tetapi juga
terdapat ketegangan antara pengguna spiritual dengan orang yang memanfaatkannya
dalam arti yang berbeda. Misalnya di Gunung Arjuna penziarah mencurigai orang
asing dan pendaki sebagai orang yang dapat merusakkan suasananya yang ada di
sekitar tempat pemujaan itu.
Agama Islam
Ketika
membicarakan sejarah peninggalan purbakala dengan seorang penduduk Sidoarjo dia
mengatakan bahwa candi dan arca dari kerajaan dahulu dibuat supaya masyarakat
di masa depan akan tahu tentang adanya kebudayaan dan kepercayaan yang
berkatian dengan situs-situs itu. Sebaliknya, candi dan arca itu diratakan
tanah supaya orang pada masa depan tidak akan tahu tentang kebudayaan dan
kepercayaan itu. Memang kita dapat melihat bahwa pada masa dahulu Kerajaan
Islam memiliki peran utama dalam proses Islamisasi Jawa. Selama abad ke-16 dan
ke-17 kerajaan tersebut mengatur pekerjaan menghancurkan wihara dan candi yang
bersifat Siwa-Budha dan menggantinya dengan masjid-masjid.[60]
Walaupun begitu, kepercayaan yang berkaitan dengan bangunan-bangunan ini masih
terus berjalan dalam kehidupan dan kepercayaan sekarang.
Apabila berdiskusi tentang agama Islam dan peninggalan purbakala di
Jawa kita harus membagi umatnya dalam dua golongan utama. Golongan pertama
bersifat ortodoks dan di dalamnya ada yang melihat adat Jawa sebagai sesuatu
yang harus dihancurkan kalau tidak sesuai dengam “Islam”.[61]
Bagi orang ini peninggalan purbakala merupakan tempat yang menyesatkan. Dalam
pidanto di Borobudur Menteri Agama Indonesia mengatakan bahwa arus informasi
dan globalisasi telah mengubah tatanan hidup di Indonesia dan menimbulkan
beberapa masalah.[62]
Dia membicarakan fanatisisme di Indonesia di mana muncul faham “…yang paling
benar dan paling baik, sementara yang lain adalah sesat”. Kita dapat melihat
bahwa bangunan-bangunan seperti Candi Gambar Wetan dan Arca Boro di Blitar
pernah dirusakkan oleh minoritas yang diduga beragama Islam ortodoks. Agak
ironis bahwa minoritas itu tidak percaya akan roh-roh yang mendiami
bangunan-bangunan purbakala akan tetapi merasa diancam oleh bangunan-bangunan
dan roh-roh tersebut. Di setiap desa di mana selamatan atau upacara lain
diadakan di situs-situs purbakala ada yang mengikut dan ada yang harus melihat
tetapi menganggapnya sebagai sesuatu yang salah dalam pengertian agama Islamnya
yang benar.
Arti
peninggalan-peninggalan itu juga diancam oleh karena orang muda tidak
menganggap kepercayaan itu sebagai sesuatu yang serius. Menurut Beatty,
“Without the exegesis that draws adherents deeper into the complex world of
mystical knowledge, the signs and symbols can retain only a magical
significance or serve as reminders of harmless platitudes”.[63]
Sekarang orang muda biasanya lebih dipengaruhi oleh Islam yang bersifat
ortodoks. Kepercayaan dan pemujaan yang dilakukan di situs-situs purba dianggap
sebagai sesuatu yang kuno atau telah ketinggalan zaman. Orang muda itu tetap
menghormati baik kepercayaan tradisional maupun orang yang memegang kepercayaan
itu akan tetapi mereka lebih cenderung kepada konsep Islam yang lebih “modern”.
Agama Hindu
Umat Hindi Bali
dan pada khususnya Jawa sangat bangga bahwa situs yang paling suci dalam
kepercayaannya terletak di dalam negaranya sendiri. Sering perkataan Majapahit
muncul dan dianggap sebagai “…a claim to substance – important for a minority
religion – and a touchstone of authenticity”.[64]
Perpustakaan Jawa kuno, tantu panggelaran,
mencatat bahwa Gunung Mahameru dibawa dari India ke Jawa. Puncaknya jatuh
menjadi Gunung Penanggungan sedangkan Gunung Mahameru menjadi Gunung Semeru.
Gunung-gunung tersebut dianggap suci oleh umat Hindu baik Jawa dan Bali dan
sering menjadi fokus dalam penziarahannya.
Memang ada
beberapa perbedaan antara umat Hindu dalam penggunaan situs purbakala yang
terdapat di Jatim dan pada khususnya umat Hindu Jawa dan Bali. Dalam konversasi
dengan seorang Hindu di Trowulan berberapa perbedaan disebutkan antara umat
Hindu Jawa dan Bali dan pada khususnya perdedaan dalam arti ritual dan
filsafof. Katanya perkembangan umat Hindu Jawa dalam keberanian, kebanggaan dan
intelektualitas bagus sekali. Akan tetapi ada yang tidak mengerti makna dari
upacara yang mereka lakukan di candi purbakala. Tujuannya benar, yaitu “untuk
menyentuh Tuhan” akan tetapi mereka malukukan ritual sesuai dengan keyakinan
masing-masing.
Memang orang itu
sekarang berusaha untuk mencoba mengerti agama Hindu dalam arti filsafat
daripada mengikuti ritual saja. Katanya Tuhan tidak terbentuk. Tuhan itu
sesuatu yang terlalu “besar” untuk dimengerti manusia sehingga manusia boleh
memujiNya dalam bentuk apa saja yang diinginkan. Kebanyakan umat Hindu suka
memujiNya dalam bentuk inkarnasi misalnya Siwa atau Ganesa. Candi purbakala
merupakan pusat pemujaan dimana orang-orang dapat memikirkan Tuhan. Menurutnya
tidak ada satu ritual Hindu yang lebih benar daripada yang lain. Katanya
kebanyakan aktivitas keagamaan di Bali lebih mementingkan ritual daripada
filsafof.
Kadang-kadang
komunitas Hindu merasa terancam oleh karena mereka merupakan pulau di tengah
laut Islam. Saat ini jumlah umat Hindu yang tercatat, baik Hindu Jawa dan Bali,
sekitar 400,000 orang di Jatim.[65]
Di luar beberapa rumah di Trowulan dipasang tanda yang mencerminkan perasaan
tersebut. Tanda itu ditulis dengan Undang-undang Repuklik Indonesia yaitu:
1.
Setiap orang bebas memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kerpercayaannya
itu.
2.
Negara menjam kemerdekaan
setiap orang memeluk agamannya masing-masing dan beribadat menurut
kepercayaannya.
- Undang-undang Repulik Indonesia, 1999, HAM Pasal 22.
Ketika ditanya
tentang alasan untuk memasang tanda tersebut orangnya mengatakan bahwa pernah
ada orang yang merusakkan puranya (tempat pemujaan Hindu yang terdapat di
rumah). Katanya penggunaan peninggalan-peninggalan purbakala kadang-kadang
dilihat sebagai ancaman oleh orang yang mengikut agama lain di sekitarnya.
Agama Budha
Pada pokoknya umat Budha menggunakan peninggalan untuk mempraktekkan
meditasi dan kesadaran Dharma. Kebanyakan orang Budha yang diwawancarai
mengunjungi candi-candi oleh karena mereka dapat berlatih meditasi maupun
sekedar mendekatkan diri pada alam.
Kita harus mengingat bahwa agama Buddha di Jawa tidak dapat
dilepaskan dari kepercayaan asli Jawa. Banyak umat menjalani agama yang
memiliki unsur-unsur Jawa asli. Ada yang masih tetap percaya pada adanya danyang dan roh nenek-moyangnya yang
masih berdiam di tempat-tempat suci. Ketika saya mengunjungi situs-situs di
Gunung Arjuna saya bertemu dengan umat Buddha yang mengikuti rombongan orang
yang berkepercayaan agami Jawa (agama
Jawa).
Menarik bahwa agama Budha yang menarik masuk tidak mengalami masalah
dengan agama lain seperti agama Hindu yang tidak menarik masuk secara aktif.
Sering di Jawa orang dari setiap agama (termasuk agama Islam ortodoks) belajar
tentang meditasi. Kita dapat melihat bahwa tokoh-tokoh Buddha di Indonesia
sangat dihormati misalnya kehormatan yang ditunjukkan ketika seorang Bhiksu
wafat.[66]
Pada pokonya, peninggalan-peninggalan purbakala merupakan tempat
suci bagi umat Buddha. Sebetulnya, sifat candi-candi itu tidak begitu penting.
Yang lebih penting adalah keinginan untuk memperkuatkan pikirannya dan saya
dapat melihat umat Buddha yang berziarah ke bangunan-bangunan Hindu. Candi dan
patung-patung Buddha dan arca Dewata yang terdapat di dalamnya digunakan untuk
menginspirasikan dan membantu orangnya dalam ketaatan dan kesadaran. Dalam
kerajaan Majapahit kedudukan Dewa Budha dianggap tidak berbeda dari Siwa.[67]
Persamaan antara umat Budha dan Hindu masih dapat dilihat dalam penggunaan
peninggalan purbakala sekarang. Misalnya di Candi Boyolangu di Tulungagung umat
Budha dan Hindu merayakan hari Waisak bersama-sama.
Bab IV:
Kesimpulan
Peninggalan-peninggalan purbakala masih
memiliki peran dan arti bagi berapa golongan dalam masyarakat Jawa dan Bali dan
pada khususnya dalam arti keagamaan. Pada pokoknya terdapat lima macam bangunan
purbakala di Jatim yaitu candi, punden berundak, pitirtaan, gapura (termasuk
candi bentar) dan stupa. Bagi tiga aliran agama dan kepercayaan utama di Jawa
bangunan ini memiliki peran yang penting yaitu agama Islam yang cenderung
kepada kepercayaan asli Jawa, agama Hindu baik Jawa dan Bali dan agama Budha.
Bagi umat Islam peninggalannya dianggap
sebagai tempat di mana arwah nenek moyang, makhluk halus dan Dewata dapat
dipuja supaya komunitasnya selamat dan bebas dari bahaya. Selamatan dan upacara
lain sering diadakan di bangunan suci terutama di daerah perdesaan Jatim.
Bangunan yang terdapat di gunung-gunung dianggap sebagai tempat di mana
penziarah dapat memikirkan kehidupannya dan memuja para arwah nenek moyangnya
dalam suasana yang cocok.
Bagi umat Hindu peninggalan
purbakala dianggap sebagai tempat di mana Dewata berdiam selama suatu upacara
dilakukan. Di lereng gunung-gunung di Jatim terdapat bangunan suci yang
merupakan tempat penziarahan umat Hindu. Bangunan-bangunan purbakala merupakan
suatu hubungan antara umat Hindu sekarang dengan nenek moyangnya dan sejarahnya
sendiri.
Umat Budha berziarah ke bangunan suci sebagai
tanda kehormatan dan untuk mempraktekkan ajaran Budha yaitu mengenal dan
mengasah pikirannya. Seperti halnya dengan umat Hindu, umat Budha juga melihat
bangunan-bangunan dalam arti kesejarahan. Pada hari besar Budha, misalnya Hari
Waisak, bangunannya menjadi fokus untuk perayaan dan penyemadian
Penggunaan peninggalan purbakala lain
termasuk rekreasi dan turisme. Di gunung-gunung situs-situs dan fasilitas yang
dibangun oleh penziarah digunakan untuk penkemahan. Candi-candi digunakan
sebagai tempat bermain oleh anak-anak atau di mana pasangan dapat berkencan
dalam suasana sepi.
Penggunaan situs-situs purbakala
mengakibatkan beberapa isu yang muncul oleh karena ada perbedaan dan persamaan
dalam arti yang berkaitan dengan situs-situs itu. Ada yang melihatnya sebagai
semacam ancaman bagi agamanya sendiri. Ada yang melihatnya sebagai sesuatu yang
menghubungkan agamanya dengan agama lain. Ada yang melihatnya dalam arti keagamaan
dan ada yang mencurigai orang yang melihatnya dalam arti lain.
Kita dapat melihat bahwa
peninggalan-peninggalan purbakala memiliki arti yang sangat penting bagi
beberapa golongan dalam masyarakat Jawa dan Bali. Bangunan tersebut merupakan
sumber perbedaan dan persamaan bagi orang yang memanfaatkannya baik dalam arti
keagamaan maupun arti yang tidak spiritual.
Daftar Pustaka
Arwana, I. Mengenal Peninggalan Majapahit di Daerah
Trowulan, Koperasi Pegawai Republik Indonesia, Trowulan, 1988.
Beatty, A. Varieties of Javanese Religion An
Anthropological Account, Cambridge University Press, Cambridge, 1999.
Daltan, B. Indonesia Handbook, Moon Publications,
Singapore, 1980.
East Java
Government Tourism Service, Memories of
Majapahit, 1998, http://www.eastjava.com/books/majapahit/,
(terakhir dibuka 29 Mei, 2002).
Geertz, C. The Religion of Java, The University of
Chicago Press, Chicago, 1960.
Hefner, R. ‘A
Gentle Blend of Islam and Adat’,
dalam Java, ed. E. Oey, Periplus
Editions, Singapore, 1991, h. 66-69.
Irsam, List of Majapahit Archeological Remains, 2000, http://majapahit.virtualave.net/Candi/list.htm,
(terakhir dibuka 2 April, 2002).
Kusen, Sumijati,
A. & Inajati, A. ‘Agama dan Kepercayaan Masyarakat Majapahit’, dalam 700 Tahun Majapahit, Suatu Bunga Rampai,
ed. S. Kartodirdjo, Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa
Timur, Surabaya, 1993, h. 90-115.
Ling, T. A History of Religion East and West,
Macmillan, London, 1979.
Maas, D. Antropologi Budaya, Penerbit Karunika,
Jakarta, 1986.
Miksic, J.
‘Ancient Sites in the Brantas River Valley’, dalam Java, ed. E. Oey, Periplus Editions, Singapore, 1991, h. 324-329.
Oetomo, Dede,
‘Holy Graves and Mountain Springs’, dalam Java,
ed. E. Oey, Periplus Editions, Singapore, 1991, h. 306-307.
Piyasilo Jalan Tunggal Studi Perbandingan Mengenai
Mahayana dan Theravada, Yayasan Penerbit Karaniya, Bandung, 1995.
Rosadi, B. ‘Di Balik
Kegiatan Dharma Santi Pandaan Umat Hindu di Jatim Kurang Dapat Bimbingan’,
2002, http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2002/4/22/bd1.htm,
(terakhir dibuka 29 April, 2002).
Soekmono, R. Pengantar Sejarah Indonesia 2, Penerbit Kanisus, Yogyakarta, 1973.
Soekmono R. & Romli I.
‘Peninggalan-peninggalan Purbakala Masa Majapahit’, dalam 700 Tahun Majapahit, Suatu Bunga Rampai, ed. S. Kartodirdjo, Dinas
Pariwisata Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur, Surabaya, 1993, h.
66-88.
Stokes, G. Buddha, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2000.
Sunyoto, A. Wisata Sejarah Kabupaten Malang, Lingkaran Studi Kebudayaan,
Malang, 2000.
Susasifitri, I. Altar Punden Berundak di Gunung Penanggungan
dan Gunung Arjuna, Skripsi, UGM.
Wahyono, W. Kapita Selekta Agama Budha II, Departemen Agama dan Universitas
Terbuka, Jakarta, 1994.
Yayasan Dhammadipa Arama, Kitab Suci Dhammapada, Yayasan
Dhammadipa Arama, Jakarta, 2001.
Lampiran A: Situs-situs
Purbakala di Jatim[68]
1. Kabupaten Blitar 6. Kabupaten
Probolinggo
Candi Penataran Candi
Jabung
Candi Sumberjati 7. Kabupaten Pasuruan
Candi Boro Candi
Gunung Gangsir
Candi Kalicilik Candi
Jawi
Candi Sumbernanas Petirtaan
Belahan
Candi Gambar Wetan Grup
Situs Sepilar/Indrokilo
Candi Bacem 8. Kabupaten Sidoarjo
Candi Sawentar Candi
Pari
Candi Kotes Candi
Sumur
Candi Wringin Branjang Candi
Dermo
Candi Plumbangan Candi
Pamotan
2.
Kabupaten Kediri 9.
Kabupaten Jombang
Candi Surowono Candi
Rimbi
Candi Tegowangi 10. Kabupaten Mojokerto
3.
Kabupaten Tulungagung Candi Bajang Ratu
Candi Boyolangu Candi
Bangkal
Candi Dadi Candi
Brahu
Candi Penampian Candi
Jedong
Candi Sanggrahan Candi
Kasiman Tengah
Candi Mirigambar Candi
Minak Jinggo
Candi Ngampel Candi
Kedaton
4.
Kabupaten Nganjuk Candi
Tikus
Candi Ngetos Candi
Wringin Branjang
Candi Lor Petirtaan
Jolotundo
5.
Kabupaten Malang Candi Siti Inggil
Candi Jago
Candi Kidal
Candi Singosari
Candi Sumbeawan
Candi Badut
Candi Songgoriti
Lampiran B: Candi Berantakan[69]
Lampiran C: Padahal Jadi Jugaan Tokoh dan Artis untuk Mandi Suci[70]
Lampiran D: Surat Undangan Hari Waisak
Lampiran E: Arus Informasi dan Globalisasi Menumbuhkan Fanatisisme Sempit[71]
Lampiran F: Bentuk Petinya Ikuti Postur Mudra[72]
Lampiran G: Surat Ijin Penelitian
[1] R. Soekmono, Pengantar Sejarah Indonesia 2, Penerbit
Kanisus, Yogyakarta, 1973, h. 81.
[2] Kusen, A. Sumijati & A.
Inajati, ‘Agama dan Kepercayaan Masyarakat Majapahit’, dalam 700 Tahun Majapahit, Suatu Bunga Rampai,
ed. S. Kartodirdjo, Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa
Timur, Surabaya, 1993, h. 91.
[3] M. Wahyono, Kapita Selekta Agama Budha II,
Departemen Agama dan Universitas Terbuka, Jakarta, 1994, h. 91.
[4] Soekmono, Op. Cit., p. 82.
[5] Kusen, Sumijati &
Inajati, Op. Cit., h. 80.
[6] G. Stokes, Buddha, Penerbit Erlangga, Jakarta,
2000, h. 95.
[7] C. Geertz, The Religion of Java, The University of
Chicago Press, Chicago, 1960, h.7.
[8] D. Maas, Antropologi Budaya, Penerbit Karunika,
Jakarta, 1986, h. 104.
[9] R. Hefner, ‘A Gentle Blend
of Islam and Adat’, dalam Java, ed. E. Oey, Periplus Editions,
Singapore, 1991, h. 68.
[10] Ibid., h. 66.
[11] Maas, Op. Cit., h. 135.
[12] Soekmono, Op. Cit., h. 83-84.
[13] Untuk diskusi tentang
perbedaan antara umat Hindu Jawa dan Bali lihat bab Javanese Hindus dalam A. Beatty, Varieties of Javanese Religion An Anthrological Account, Cambridge
University Press, Cambridge, 1999.
[14] Piyasilo, Jalan Tunggal Studi Perbandingan Mengenai
Mahayana dan Theravada, Yayasan Penerbit Karaniya, Bandung, 1995, h. 47.
[15] Stokes, Op. Cit., h. 86-87.
[16] T. Ling, A History of Religion East and West,
Macmillan, London, 1979, h. 47.
[17] Piyasilo, Op. Cit., h. 47.
[18] East Java Government Tourism
Service, Majapahit: The Story of
Majapahit, 1998, http://www.eastjava.com/books/majapahit/html/intro1.html,
(dibuka 26 April, 2002).
[19] J. Miksic, ‘Ancient Sites in
the Brantas River Basin’, dalam Java,
ed E. Oey, Periplus Editions, Singapore, 1991, h. 327.
[20] Lihat Lampiran A: Situs-situs Purbakala di Jatim.
[21] Lihat Lampiran F: Surat Izin Penelitian.
[22] B. Daltan, Indonesia Handbook, Moon Publications,
Singapore, 1980, h. 167.
[23] Lihat Lampiran A: Situs-situs Purbakala di Jatim.
[24] Daltan, Op. Cit., h. 157.
[25] J. Miksic, ‘Ancient Sites in
the Brantas River Basin’, dalam Java,
ed E. Oey, Periplus Editions, Singapore, 1991, h. 329.
[26] Ibid.
[27] East Java Government Tourism
Service, Majapahit: Candi Sumberjati,
1998, http://www.eastjava.com/books/majapahit/html/sumberjati.html,
(terakhir dibuka 23 April, 2002).
[28] Ibid.
[29] R. Soekmono & I. Romli,
‘Peninggalan-peninggalan Purbakala Masa Majapahit’, dalam 700 Tahun Majapahit, Suatu Bunga Rampai, ed. S. Kartodirdjo, Dinas
Pariwisata Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur, Surabaya, 1993, h. 73.
[30] East Java Government Tourism
Service, Majapahit: Candi Sumberjati,
1998, http://www.eastjava.com/books/majapahit/html/sawentar.html,
(terakhir dibuka 27 April, 2002).
[31] Ibid.
[32] Daltan, Op. Cit., h. 154.
[33] Miksic, Op. Cit., h. 328.
[34] Ibid., h. 329.
[35] Lihat Lampiran B: Candi Berantakan.
[36] East Java Government Tourism
Service, Majapahit:Candi Jabung,
1988, http://www.eastjava.com/books/majapahit/html/jabung2.html,
(terakhir dibuka 28 April, 2002).
[37] East Java Government Tourism
Service, Majapahit: Pu Sindok, 1988, http://www.eastjava.com/books/majapahit/html/sindok.html,
(terakhir dibuka 27 April, 2002).
[38] East Java Government Tourism
Service, Majapahit: Candi Jajaghu,
1988, http://www.eastjava.com/books/majapahit/html/jajagu.html,
(terakhir dibuka 27 April, 2002).
[39] East Java Government Tourism
Service, Majapahit: Candi Kidal,
1988, http://www.eastjava.com/books/majapahit/html/kidal.html,
(terakhir dibuka 27 April, 2002).
[40] Lihat Lampiran C: Padahal Jadi Jugaan Tokoh dan Artis untuk
Mandi Suci.
[41] East Java Government Tourism
Service, Majapahit:Candi Sumberawan,
1988, http://www.eastjava.com/books/majapahit/html/sumberawan.html,
(terakhir dibuka 28 April, 2002).
[42] A. Sunyoto, Wisata Sejarah Kabupaten Malang,
Lingkaran Studi Kebudayaan, Malang, 2000, h. 40-41.
[43] Lihat Lampiran B: Candi Berantakan.
[44] Lihat Lampiran D: Surat Undangan Hari Waisak..
[45] Soekmono, Op. Cit., h. 41.
[46] D. Oetomo, ‘Surabaya
Sidetrips’, dalam Java, Periplus
Editions, Singapore, 1991, h. 307.
[47] East Java Government Tourism
Service, Majapahit:Candi Jabung,
1998, http://www.eastjava.com/books/majapahit/html/jabung.html, (terakhir dibuka 27 April, 2002).
[48] East Java
Government Tourism Service, Majapahit:
The Origins of Rajasa Dynasty, 1988, http://www.eastjava.com/books/majapahit/html/dynasty.html, (terakhir
dibuka 27 April, 2002).
[49] East Java Government Tourism
Service, Majapahit: Airlangga, 1998, http://www.eastjava.com/books/majapahit/html/airlangga.html,
(terakhir dibuka 27 April, 2002).
[50] Daltan, Op. Cit, h. 151.
[51] Kusen, A. Sumijati & A.
Inajati, ‘Agama dan Kepercayaan Masyarakat Majapahit’, dalam 700 Tahun Majapahit, Suatu Bunga Rampai,
ed. S. Kartodirdjo, Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa
Timur, Surabaya, 1993, h. 93.
[52] I. Susasifitri, Altar Punden Berundak di Gunung Penanggungan
dan Gunung Arjuna, Skripsi, UGM, h. 66.
[53] East Java Government Tourism
Service, Majapahit: Candi Jabung,
1998, http://www.eastjava.com/books/majapahit/html/jabung1.html, (terakhir dibuka 27 April, 2002).
[54] M. Wahyono, Kapita Selekta Agama Buddha II,
Departemen dan Universitas Terbuka, Jakarta, 1994, h. 98.
[55] East Java
Government Tourism Service, Majapahit:
Tomb of the Princess from Champa, 1988, http://www.eastjava.com/books/majapahit/html/champa.html,
(terakhir dibuka 27 April, 2002).
[56] East Java Government Tourism
Service, Majapahit: Candi Bajang Ratu,
1998, http://www.eastjava.com/books/majapahit/html/bajang.html,
(terakhir dibuka 27 April, 2002).
[57] East Java Government Tourism
Service, Majapahit: Candi Kedaton,
1998, http://www.eastjava.com/books/majapahit/html/kedaton.html,
(terakhir dibuka 27 April, 2002).
[58] I. Arwana, Mengenal Peninggalan Majapahit di Daerah
Trowulan, Koperasi Pegawai Republik Indonesia, Trowulan, 1988, h. 44.
[59] East Java Government Tourism
Service, Majapahit: Jolotundo dan Belahan,
1998, http://www.eastjava.com/books/glorious/html/jolotundo.html,
(terakhir dibuka 27, April, 2002).
[60] R. Hefner, ‘A Gentle Blend
of Islam and Adat’, dalam Java, ed. E. Oey, Periplus Editions,
Singapore, 1991, h. 67.
[61] A. Beatty, Varieties of Javanese Religion An
Anthropological Account, Cambridge University Press, Cambridge, 1999, h.
132.
[62] Lihat Lampiran E: Arus Informasi dan Globalisasi Menumbuhkan
Fanatisme Sempit.
[63] Beatty, Op. Cit., h. 114.
[64] Ibid., h. 211.
[65] B. Rosadi, ‘Di Balik
Kegiatan Dharma Santi Pandaan Umat Hindu di Jatim Kurang Dapat Bimbingan’,
2002, http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2002/4/22/bd1.htm,
(terakhir dibuka 29 April, 2002).
[66] Lihat Lampiran F: Bentuk Petinya Ikuti Postur Mudra.
[67] Kusen, A. Sumijati & A.
Inajati, ‘Agama dan Kepercayaan Masyarakat Majapahit’, dalam 700 Tahun Majapahit, Suatu Bunga Rampai,
Dinas Paritwisata Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur, Surabaya, 1993,
h. 92.
[68] Irsam, List of Majapahit
Archeological Remains, 2000, http://majapahit.virtualave.net/Candi/list.htm,
(terakhir dibuka 2 April, 2002).
[69] C. Nugroho, ‘Candi
Berantakan’, Kompas, 2 April, 2002, h. 9.
[70] I. Muslich, ‘Padahal Jadi
Jujugan Tokoh dan Artis untuk Mandi Suci’, Jawa Pos, 23 April, 2002, h. 21.
[71] ‘Arus Informasi dan
Globalisasi Menumbuhkan Fanatisisme Sempit’, Kompas, 27 Mei, 2002, h. 1.
[72] S. Muttaqin-August, ‘Bentuk
Petinya Ikuti Postur Mudra’, Jawa Pos, 24 April, 2002, h. 1.
Langganan:
Postingan (Atom)